Pasukan Sekutu di Kawasan Pasifik dan Asia Tenggara


 Sekitar tahun 1943, dalam kancah Perang Pacifik terdapat tiga kekuatan besar militer yang secara fisik masih memiliki kekuatan tempur, yaitu Jepang, Amerika Serikat dan Inggris. Kekuatan militer lainnya seperti Angkaran Perang Hindia Belanda (KNIL) dan Perancis di Indocina telah lumpuh dan tercerai berai seiring dengan didudukinya Hindia Belanda dan Indoc ina oleh tentara Jepang pada awal masa Perang Pacifik. Belanda menaruh harapan kepada AS dan Inggris untuk mengusir tentara Jepang dari Hindia Belanda. Sementara itu, pada tahun 1943 Sekutu menetapkan pembagian wilayah operasi di kawasan Pasifik dan Asia Tenggara menjadi dua komando :

 1. South West Pacific Command (SWPC), Komandao Pasifik Barat Daya, di bawah Jendral Mac Arthur dari AS yang berkedudukan di Australia. Wilayah operasi SWPC meliputi kawasan Pasifik Barat Daya dan Kepulauan Hindia Belanda, kecuali Sumatra; 

2. South East Asia Command (SEAC) , Komando Asia Tenggara, di bawah kepemimpinan Laksamana Lord Louis Mounbatten dari Inggris yang berkedudukan di India. Wilayah operasi SEAC meliputi Burma (sekarang Myanmar), Thailand, Semenanjung Malaya, dan Sumatra (Asmadi, 1985 : 112-113).

 Konferensi Postdam. 

Setelah kekalahan Jerman dalam Perang Dunia II, pada tanggal 17 Juli 1945, Sekutu mengadakan kenferensi di Postdam, Jerman, dengan hasil terjadi perubahan komando atas sebagaian wilayah operasi SWPC. Dari Konferensi Postdam disepakati bahwa komando operasi atas wilayah Hindia Belanda dialihkan dari SWPC kepada SEAC. Pemindahan secara resmi baru dilakukan pada tanggal 14 Agustus 1945, pada hari pernyataan kalahnya Jepang kepada Sekutu. (Anderson, 1988 : 155-156). Pemindahan itu membuat B elanda segera memindahkan NICA dan Nefis ke India. 

CAA (Civil Affairs Agreement). 

Pada 24 Agustus 1945 pemerintah Inggris dan Belanda mengadakan sebuah perjanjian kerja sama yang dinamakan Civil Affairs Agreement (CAA) yang dibuat di Chequers, Inggris. Intinya, tentara Inggris diberi wewenang untuk mendarat di Hindia Belanda dengan mengikutsertakan NICA. SEAC tidak bersedia segera mengirimkan pasukan Inggris ke Indonesia karena berkonsentrasi ke Thailand. Untuk menenangkan Belanda, pada 6 September 1945, Panglima SEAC, Laksamana Lord Louis Mounbatten membentuk Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) dan mengangkat Letjen Sir Philip Christison sebagai panglimanya. Tugasnya adalah melucuti dan memulangkan tentara Jepang, membebaskan para interniran dan tawanan perang, serta menegakkan hukum dan ketertiban di wilayah tugasnya (Asmadi, 1985 : 114-115; Poeponegoro dan Notosusanto, 1990 : 122). Untuk mempersiapkan pendaratan pasukan AFNEI, beberapa tim RAPWI sebagai allied mission (misi Sekutu) diterjunkan dengan parasut di beberapa kota di Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan