Pertempuran-pertempuran di Semarang dan Surabaya.
Pada tanggal 3 Oktober 1945, Polisi Militer Jepang membantai pemuda-pemuda Republik di Pekalongan. Pada tanggal 10 Oktober 1945 , pasukan-pasukan Jepang mendesak kaum Republik keluar dari Bandung dan seminggu kemudian menyerahkan kota Bandung kepada Inggris. Pada tanggal 14 Oktober 1945, Jepang merebut kembali kota Semarang. Pertempuran terjadi selama lima hari. Pihak Republik membunuh sekitar 130 orang dan menawan 300 orang Jepang. Jepang kemudian berusaha menguasai kota Semarang dan mengakibatkan tewasnya 500 orang Jepang dan 2.000 orang Indonesia. Enam hari kemudian Inggris tiba di Semarang dan mengungsikan tawanan Indo-Eropa dan Eropa . Detasemen-detasemen diberangkatkan ke Magelang dan Ambarawa untuk membebaskan sekitar 10.000 tawanan termasuk menggunakan serangan udara (Rickleffs, 2004 : 436-437).
Gencatan Senjata.
Insiden Magelang berakhir setelah Presiden Soekarno dan Brigadir Jenderal Bethell datang ke Magelang pada tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan perundingan gencatan senjata dan memperoleh kata sepakat yang dituangkan dalam 12 pasal.
Naskah persetujuan itu berisi antara lain: Pihak Sekutu akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi pasukan Sekutu yang ditawan pasukan Jepang (RAPWI) dan Palang Merah (Red Cross) yang menjadi bagian dari pasukan Inggris; Jumlah pasukan Sekutu dibatasi sesuai dengan tugasnya; Jalan raya Ambarawa dan Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia dan Sekutu; dan Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dan badan-badan yang ada di bawahnya.
Surabaya.
Laksamana Madya Shibata Yaichiro di Surabaya memihak Republik dan membuka pintu gudang senjata bagi para pejuang Indonesia. Ia pun menyerah kepada kapten laut Belanda yang merupakkan wakil Sekutu pada tanggal 3 Oktober 1945 dan menyerahkan senjata yang tersisa pada rakyat Indonesia.
Pada tanggal 20 Oktober 1945, Presiden Sukarno mengirim kawat kepada Presiden Truman karena NICA melakukan teror kepada rakyat dengan menggunakan uniform, senjata dan truk-truk AS. Pada tanggal 25 Oktober 1945, Presiden Sukarno mengadakan pertemuan dengan Christison. Pemerintah Republik mengumumkan bersedia untuk berunding dengan pihak manapun dengan dasar pengakuan untuk menentukan nasib sendiri.
Pada 28-30 Oktober 1945 terjadi pertempuran Surabaya. 6.000 pasukan Inggris yang terdiri dari serdadu-serdadu India tiba pada tanggal 25 Oktober 1945 untuk mengungsikan para tawanan. Dalam waktu tiga hari pertempuran berkobar. Sekitar 20 ribu anggota TKR dan sekitar 100 ribu rakyat membunuh kebanyak prajurit India itu (Rickleffs, 2004 : 437).
Pihak Inggris mendatangkan Sukarno, Hatta dan Amir Sjarifuddin. Pada 29 Oktober 1945 Presiden Soekarno, Wapres Moh. Hatta dan Menpen Amir Syarifuddin terbang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran dan memutuskan peletakan senjata. Pada 31 Oktober 1945, Presiden Soekarno, Wapres Moh. Hatta melakukan pertemuan informal dengan van Mook, van der Plas dan Idenburg di rumah kediaman Jendral Christison. Jendral Christison mengakui TKR di Pulau Jawa. Pimpinan tentara Inggris menyatakan bahwa Brigadir Jendral Mallaby "hilang" dalam pertempuran Surabaya (Supeni, 2001 : 241).
Para pemimpin Nahdatul Ulama dan Masyumi menyatakan bahwa perang mempertahankan tanah air Indonesia adalah Perang Sabil, kewajiban atas semua muslim. Para santri mengalir dari pesantren-pesantren di Jawa Timur ke Surabaya.
Komentar
Posting Komentar