Kedatangan Pasukan Inggris dan Australia

 



Pada 6 September 1945, Panglima SEAC, Laksamana Lord Louis Mounbatten  membentuk Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) dan mengangkat Letjen Sir Philip  Christison sebagai panglimanya. Tugasnya adalah melucuti dan memulangkan tentara Jepang, membebaskan para interniran dan tawanan perang, serta menegakkan hukum dan ketertiban di wilayah tugasnya (Asmadi, 1985 : 114-115; Poeponegoro dan Notosusanto, 1990 : 122). Untuk mempersiapkan pendaratan pasukan AFNEI, beberapa tim RAPWI sebagai allied mission (misi Sekutu) diterjunkan dengan parasut di beberapa kota di Indonesia.

Pasukan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) yang dipimpin Kapten Gray, dan Intercross (Palang Merah Internasional), menjadi awal kedatangan Inggris di kota Bandung. Kedatangan mereka dilanjutkan dengan keluarnya perintah kepada para pejuang supaya menyerahkan senjata kepada Inggris, yang tentu saja ditolah mentah-mentah oleh para pejuang. Pasukan RAPWI juga memerintahkan tentara Jepang supaya merampas senjata-senjata para pejuang.

Akhirnya, sambuatan rakyat terhadap Inggris dan NICA penuh caci maki dan serangan terhadap NICA maupun pasukan Inggris, yang dianggap membantu NICA.

Secara umum, strategi politik Inggris adalah melakukan diplomasi dengan pemerintah RI di Jakarta, sementara strategi militernya adalah menyerang dan menduduki daerah daerah yang diperkirakan menjadi markas kekuatan bersenjata  RI. Tujuannya adalah memperluas ruang gerak tentara Inggris dengan mendesak secara perlahan-lahan seluruh kekuatan bersenjata RI ke luar Bandung (Amar, 1963 : 69-70 dalam Sitaresmi, 2002 : 59).

Pasukan  Inggris yang sebagian besar terdiri atas orang-orang  India juga  bergerak memasuki Jawa dan  Sumatra. Mereka sampai di Jakarta Medan Padang Palembang Semarang & Surabaya. Panglima Inggris untuk Indonesia, Letjen Sir Philip Christison ingin menghindari bentrokan dengan rakyat Indonesia, karena itu dia mengirimkan serdadu lama bekas tentara kolonial Belanda dan pasukan Belanda yang baru tiba di Indonesia Timur.

Tentara Australia.

Sementara itu, antara medio September  dan Oktober 1945, Australia menduduki kota-kota besar Indonesia Timur. Demonstrasi- demonstrasi dipadamkan  dan  beberapa pejabat yang pro Republik ditangkap. Raja-raja  di Sulawesi Selatan yang pro Republik memutuskan bahwa tidak akan bijaksana melawan tentara Australia, sehingga dengan berat hati terpaksa membiarkan saja kembalinya orang-orang  Belanda  (A History of Modern Indonesia Since 1200 Third Edition, 2001).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan