Perlawanan Kaum Samin
Samin Surasentika (1859-1914).
Suatu bentuk protes pedesaan mencapai puncaknya pada tahun 1914. Di daerah Blora, Jawa Tengah, Samin Surasentika seorang petani yang buta huruf (meski ada yang meyakini masih keturunan bangsawan) menghimpun pengikut dari kalangan petani yang menolak kekuasaan Belanda khususnya yang terkait dengan peraturan kehutanan di kawasan hutan jati ini. Mereka yang disebut Kaum Samin menganut kepercayaan asli yang disebut elmu Nabi Adam yang nampaknya tidak terkait dengan Islam maupun Hindu-Budha. Elmu Nabi Adam merupakan sekumpulan doktrin etika dan agama yang menitikberatkan pentingnya kerja pertanian, kekuatan seksual, perlawanan pasif, dan keutamaan keluarga. Elmu Nabi Adam menolak perekonomkan uang, struktur-strukt ur desa yang bersifat non-Samin dan segala bentuk kekuasaan dari luar (Ricklefs).
Kaum Samin menolak membayar pajak, melaksanakan kerja paksa atau memanfaatkan sekolah-sekolah pemerintah.
Pada tahun 1907 merasa khawatir akan meletusnya pemberontakan. Oleh karena itu pemerintah mengasingkan Samin ke Palembang di mana ia kemudian wafat. Meskipun demikian gerakan kaum Samin terus berjalan dan mencapai puncaknya tahun 1914 ketika pihak Belanda memungut pajak kepala yang makin besar. Golongan priyayi yang marah tidak dapat menghentikan gerakan itu.
Ada yang mengatakan gerakan Samin masih hidup di wilayah Blora dan sekitarnya sampai tahun 1970-an. Tapi faktanya masyarajat Samin masih ada hingga saat ini dengan nama Sedulur Sikep.
Komentar
Posting Komentar