Kyai Haji Abdulwahid Hasyim (1914-1953)


Kyai Haji Hasyim Asyari dijadikan Ketua Masyumi, namun dia tetap tinggal di pesantrennya di Jombang. Yang menjadi ketua efektif adalah putranya, Kyai Haji Abdulwahid Hasyim.

Abdulwahid Hasyim berasal dari keluarga ulama. Sejak muda ia menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren; salah seorang gurunya adalah ayahnya sendiri, Kyai Haji Hasyim Asyari. Bersama saudara sepupunya, K.H. Ilyas, Hasyim pertama kali beribadah haji ke Mekah pada tahun 1932. Sepulangnya dari sana, ia terjun dalam gerakan kemerdekaan, dengan memilih jalur pendidikan. Ia bertekad mengadakan perubahan radikal di kalangan pesantren dengan memberi pelajaran bahasa asing, di samping bahasa Arab kepada para muridnya.

Abdulwahid Hasyim mulai berorganisasi dengan menjadi anggota NU ranting Cukir, Jombang. Di situ karirnya menanjak hingga menjadi anggota Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) bagian Ma’arif (Pendidikan). Sewaktu berbagai organisasi Islam bersatu membentuk Majlis Islam Ala Indonesia (MIAI) pada tahun 1937, ia terpilih menjadi salah satu ketuanya bersama K.H. Mas Mansyur dari Muhammadiyah, Wahudum Wondoamiseno dari PSII dan Abdul Gafar Ismail dari Partai Islam indonesia.

Di zaman Jepang, ketika menjadi ketua Masyumi dan anggota Chuo Sangi-in (Dewan Pertimbangan Pusat) di Jakarta, Hasyim berusaha keras membebaskan ayahnya yang ditahan Kenpetai. Salah satu syarat pembebasan itu adalah pembubaran Pondok Pesantren Tebuireng. Hasyim tentu saja keberatan, tetapi demi membebaskan ayahnya, ia merelakan pembubaran PP Tebuireng.

Menjelang proklamasi kemerdekaan, bersama para pemimpin Indonesia lainnya, Abdulwahid Hasyim ikut menandatangani Piagam Jakarta. Pada bulan November 1945, ia dan Mohammad Natsir mengadakan Kongres Umat Islam Indonesia yang pertama setelah proklamasi. Kongres memutuskan untuk mendirikan partai dengan nama Masyumi juga. Para peserta kongres berikrar bahwa Masyumi (yang bukan kependekan dari Majlis Syuro Muslimin Indonesia), sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Abdulwahid Hasyim duduk sebagai salah satu ketua mendampingi Dr. Sukiman dan tokoh-tokoh Islam lainnya.

Pada tahun 1952, NU keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai partai politik yang berdiri sendiri. Kala itu di dalam pemerintahan Kabinet Sukiman-Suwiryo, Abdulwahid Hasyim menjabat Menteri Agama sebagai wakil Masyumi.
Abdulwahid Hasyim meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas Jakarta-Bandung. Jenazahnya dibawa ke Jakarta dan kemudian dimakamkan di PP Tebuireng, Jombang (Soebagijo I.N., 2004 : 356-357).

Salah seorang putra Abdulwahid Hasyim, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menjadi Presiden Keempat RI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan