Ki Ageng Suryomentaram
Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962)
Jepang membiarkan riwayat pembentukan Peta dimulai dari usul Raden Gatot Mangkupradja, melalui suratnya yang ditujukan kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943. Surat yang ditulisnya dengan darah dari lengannya sendiri dan beberapa kawannya itu meminta agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintah Jepang, tidak saja di belakang garis perang tetapi juga di medan perang. Pembentukan Peta didukung oleh para pemimpin Islam, seperti Hamka, K.H. Mas Mansur, K.H. Abdul Madjid, K.H. Djunaidi dan pihak bangsawan seperti Ki Ageng Suryomentaram (Purwoko, 2004 : 323-324).
Jepang membiarkan riwayat pembentukan Peta dimulai dari usul Raden Gatot Mangkupradja, melalui suratnya yang ditujukan kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943. Surat yang ditulisnya dengan darah dari lengannya sendiri dan beberapa kawannya itu meminta agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintah Jepang, tidak saja di belakang garis perang tetapi juga di medan perang. Pembentukan Peta didukung oleh para pemimpin Islam, seperti Hamka, K.H. Mas Mansur, K.H. Abdul Madjid, K.H. Djunaidi dan pihak bangsawan seperti Ki Ageng Suryomentaram (Purwoko, 2004 : 323-324).
Berikut ini biografi singkat Ki Ageng.
Ki Ageng Suryomentaram, bernama kecil Bendara Raden Mas Kudiarmaji, putra ke-55 dari 79 putra-putri Sultan Hamengkubuwono VII. Kudiarmaji lahir di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pendidikan Sekolah Rendah di kota kelahirannya. Pelajaran mengaji diperolehnya dari K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Saat dewasa ia mendapat anugerah nama dan gelar dari ayahandanya, yaitu Bendara Pangeran Harya Suryamentaram.
Ki Ageng Suryomentaram, bernama kecil Bendara Raden Mas Kudiarmaji, putra ke-55 dari 79 putra-putri Sultan Hamengkubuwono VII. Kudiarmaji lahir di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pendidikan Sekolah Rendah di kota kelahirannya. Pelajaran mengaji diperolehnya dari K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Saat dewasa ia mendapat anugerah nama dan gelar dari ayahandanya, yaitu Bendara Pangeran Harya Suryamentaram.
Sejak muda ia sering merenung, berpikir, dan bertafakur. Hatinya selalu gelisah melihat alam sekelilingnya. Karena jenuh dengan segala tata kehidupan keraton, ia meninggalkan istana dan menjalani kehidupan sebagai rakyat jelata di Cilacap. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia menjadi pedagang dan pekerja kasar.
Setelah ayahnya meninggal dunia dan salah seorang kakaknya dinobatkan menjadi Hamengkubuwono VIII, ia mengundurkan diri sebagai pangeran dan hidup seperti rakyat biasa di Desa Beringin, Salatiga, Jawa Tengah. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Beringin.
Setelah ayahnya meninggal dunia dan salah seorang kakaknya dinobatkan menjadi Hamengkubuwono VIII, ia mengundurkan diri sebagai pangeran dan hidup seperti rakyat biasa di Desa Beringin, Salatiga, Jawa Tengah. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Beringin.
Di Yogyakarta ia mengadakan sarasehan secara rutin dengan sejumlah tokoh yang sepemikiran dengannya. Karena sarasehan tersebut selalu diadakan pada malam Selasa Kliwon, pertemuan itu dinamakan Sarasehan Selasa Kliwon. Peserta sarasehan itu sembilan orang, antara lain Ki Hadjar Dewantara, Ki Sutopo Wonoboyo, dan Ki Sutatmo. Dalam sarasehan tersebut dibicarakan berbagai persoalan di tanah air maupun di Eropa. Selanjutnya, disepakati untuk mendirikan lembaga pendidikan yang berasaskan kebangsaan, dinamakan Taman Siswa, dengan Ki Hadjar Dewantara sebagai Ketuanya (1922). Dalam salah satu pertemuan, Ki Hadjar mengganti nama Ki Gede Suryomentaram menjadi Ki Ageng Suryomentaram
(Soebagijo I.N. dan Nugroho, 2004 : 451-452)
(Soebagijo I.N. dan Nugroho, 2004 : 451-452)
Komentar
Posting Komentar