Struktur Pemerintahan Sipil Pada Masa Pendudukan Jepang

Berdasarkan pada Undang-undang No. 27 tentang Pemerintahan Daerah yang dimantapkan dengan Undang-undang No. 28 tentang Pemerintahan Shu serta Tokubetshushi pada bulan Agustus 1942, Jepang menetapkan bahwa pemerintah yang tertinggi dan berotonomi adalah Shu (karesidenan), sedangkan provinsi dihapuskan. Kedudukan seorang Shuchokan (Residen) setingkat dengan gubernur. Berbagai nama tingkatan pemerintahan dan pejabatnya pun diganti menurut bahasa Jepang, seperti Shu (Karesidenan), Shucokan (Residen), Ken (Kabupaten), Kencho (Bupati), Shi (Kotamadya), Shicho (Walikota), Gun (Kawedanan atau Distrik), Guncho (Wedana), Son (Kecamatan), Soncho (Camat), Ku (Desa) dan Kuncho (Kepala Desa). 

Seluruh pulau Jawa dan Madura dibagi menjadi 17 Shu. Shuchokan (Residen) memiliki kekuasaan seperti Gubernur pada masa kekuasaan Hindia Belanda yang meliputi kekuasaan eksekutif dan legislatif. Shucokan dibantu oleh Cokan Kanbo (Majelis Permusyawaratan Shu) dan memilik tiga bagian : (1) Naisebu (Bagian Pemerintahan Umum); (2) Kaisaibu atau (Bagian Ekonomi); dan (3) Keisatsubu (Bagian Kepolisian).

Jepang juga membentuk sebuah kota swatantra (otonom) yang disebut tokutbesushi (kota istimewa) yang posisi kewenangannya seperti shu, dan berada langsung di bawah pengawasan Guseikan (kepala pemerintah militer). Salah satunya adalah kota Jakarta yang dipimpin Tokubetu Shico.
Pada masa itu, masyarakat Indonesia juga diperkenalkan dengan adanya Rukun Kampung (RK) yang ketuanya disebut Azacho dan Rukun Tetangga (RT) yang ketuanya disebut Kumicho (Suryaningrat, 1981, 1981: 69 dan 71).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Keredisidenan Priangan No. 1 Tahun 1942, Kota Bandung berubah dari stadsgemeente menjadi Bandungshi. Pemerintah kota tidak lagi dipegang oleh Stadesgemeenteraad (DPRD) dan College van Burgemeester en Wethouders (Badan Pengurus Harian dan Penegak Hukum), tetapi dipegang oleh seorang Shicho (Walikota) yang diangkat oleh pemerintah Jepang. Shicho saat itu dijabat oleh Ir. R. Oekar Bratakoesoemah dan sekretarisnya dijabat oleh Mr. Basoeni (Pikiran Rakyat, 27 Maret 1997).
(Sitaresmi, 2002).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan