Amir Sjarifuddin Dijatuhi Hukuman Mati
Hanya Amir Sjarifuddin yang melakukan kegiatan perlawanan atau gerakan bawah tanah yang aktif. Tak lama sebelum kemenangan Jepang, Amir menerima sejumlah besar uang dari seorang pejabat Belanda guna membentuk gerakan perlawanan anti-Jepang. Polisi militer Jepang menembus organisasi Amir dan pada bulan Januari 1943, ia dan 53 orang lainnya ditangkap.
Pada bulan Februari 1944, beberapa orang pembantunya dihukum mati, sedangkan hukuman Amir sendiri diperingan menjadi hukuman seumur hidup karena adanya permintaan dari Sukarno. Pihak Jepang tidak berani melukai perasaan elite intelektual di Jawa yang sedikit sekali jumlahnya dengan menghukum mati salah seorang anggotanya yang terkemuka (Ricklefs, 2013).
Mengenal Amir Sjarifuddin
Amir Sjarifuddin (1907-1948), tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang kontroversial ini berasal dari keluarga pemeluk Islam, ia beralih menjadi penganut Kristen, tetapi juga menyatakan dirinya sebagai seorang komunis. Amir yang lahir di Medan ini dikenal sebagai orang yang cerdas. Kecemerlangan otaknya diakui oleh guru, sesama murid maupun rekan seperjuangannya . Hal itu diperlihatkanny a baik ketika belajar di gymnasium di Belanda (1927), semasa mahasiswa maupun ketika menjadi pengacara.
Amir Sjarifuddin (1907-1948), tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang kontroversial ini berasal dari keluarga pemeluk Islam, ia beralih menjadi penganut Kristen, tetapi juga menyatakan dirinya sebagai seorang komunis. Amir yang lahir di Medan ini dikenal sebagai orang yang cerdas. Kecemerlangan otaknya diakui oleh guru, sesama murid maupun rekan seperjuangannya
Saat menjadi mahasiswa RHS (Sekolah Tinggi Hukum), Amir terjun dalam gerakan politik dengan menjadi anggota Perhimpunan Pelajar-pelajar
Setelah Partindo dibubarkan, beberapa pemimpinnya mendirikan Gerindo, ia pun memasuki organisasi ini ini dan kemudian terpilih sebagai Ketua Umum (1939).
Sewaktu Belanda kembali menangkapnya atas tuduhan mengadakan gerakan bawah tanah (1940), kasusnya ramai dibicarakan. Dalam salah satu tulisan pada harian Pemandangan, Tabrani mendesak Husni Thamrin untuk mempertanyakan masalah itu kepada pemerintah di dalam Volksraad.
Pada zaman pendudukan Jepang, Amir bergerak di bawah tanah memperjuangkan kemerdekaan. Tertangkap Jepang, ia kemudian dijatuhi hukuman mati. Namun berkat campur tangan Sukarno dan Hatta, hukuman itu diubah menjadi hukuman seumur hidup. Sewaktu menjalani hukuman penjadar di penjara Lowokwatu, Malang, ia mengalami berbagai penderitaan. Ia disalib Jepang dalam posisi kepala di bawah. Siksaan itu mempengaruhi daya tahan fisiknya di saat kemudian.
Keluar dari penjara, Amir mendirikan Parsi (Partai Sosialis Indonesia) yang kelak berfusi dengan Paras (Partai Rakyat Sosialis) buatan Sjahrir, menjadi Partai Sosialis. Ia duduk dalam Kabinet Sjahrir sebagai Menteri Pertahanan (1945-1947) dan kemudian sebagai Perdana Menteri (1947-1948).
Pada bulan Februari 1948, Sjahrir memisahkan diri dari Partai Sosialis dan mendirikan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Hubungan PSI dan kelompok Amir Sjarifuddin menjadi merenggang, apalagi setelah Amir bergabung dengan FDR (Front Demokrasi Rakyat) untuk menggadakan oposisi terhadap Hatta.
Kabinet Amir Sjarifuddin banyak mendapat kecaman sehubungan dengan perundingan perdamaian Indonesia-Belan da. Sebagai ketua delegasi Republik Indonesia dalam perundingan di kapal Renville, Amir dinilai terlalu banyak memberikan konsesi kepada Belanda. Partai-partai oposisi, dipelopori Masyumi dan PNI, menuntut pengunduran diri Amir dan pembentukan kabinet presidensial pimpinan Hatta.
FDR (Front Demokrasi Rakyat), memproklamasika n diri sebagai PKI. Partai ini lalu melancarkan pemberontakan terhadap pemerintah. Amir bersama sejumlah tokoh FDR/PKI, menjadi buron pemerintah, dan ditangkap di Desa Kelambu, Pati, di perbatasan daerah pendudukan Belanda. Bersama sejumlah tokoh lain, Amir diserahkan kepada Gubernur Militer Gatot Subroto. Demi pertimbangan keamanan, ia memutuskan untuk mengeksekusi tokoh-tokoh komunis yang ditawan itu, termasuk Amir Sjarifuddin (1948). (Soebagijo I.N., ENI Vol. 15, 2004 :120)
FDR (Front Demokrasi Rakyat), memproklamasika
Komentar
Posting Komentar