Radjiman Wediodiningrat (1879-1952)



Pada tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan ulang tahun Tenno Heika (Kaisar Jepang), BPUPKI dibentuk. Ketuanya adalah dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat, dengan dua orang Ketua Muda yaitu R.P Suroso, Syucokan atau Residen Kedu, dan Ichibangase, Residen Cirebon. Siapakah Radjiman ?
Radjiman lahir di Yogyakarta. Setamat ELS (1893) ia melanjutkan pendidikan dalam bidang kedokteran sampai mencapai gelar “dokter Jawa” (1898). Setelah itu, ia mengabdi sebagai dokter di Banyumas, Purworejo dan Semarang. Belum puas dengan gelar dokter Jawa, ia melanjutkan pendidikan ke STOVIA di Jakarta sampai meraih gelar Indisch Art (dokter pribumi) tahun 1904. Setelah bekerja di Lawang, Jawa Timur, pada tahun 1906 ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dokter Tinggi, Amsterdam, sampai meraih gelar arts (dokter) tahun 1910. Dengan keberhasilan ini, ia mencapai kedudukan yang sejajar dengan para dokter Belanda.
Semasa bermukim di Belanda ia diizinkan menyampaikan pidato pada forum Indisch Genootschap – yang beranggotakan orang terkemuka dalam berbagai bidang – dengan judul Het Psychisch Leven van het Javaans Volk. Menurut pendapatnya, mempertahankan psikologi rakyat (Jawa) merupakan suatu keharusan, sementara kebudayaan bangsa harus dijadikan pedoman dalam proses perkembangan (bangsa). Pada tahun 1911 ia masih melanjutkan pendidikan di Berlin.
Sekembalinya di tanah air, ia mengabdi di lingkungan keraton Kesunanan Surakarta. Sewaktu menjadi dokter istana itulah ia mendapatkan gelar Kanjeng Raden Tumenggung. Di tengah kesibukannya, ia melanjutkan pendidikan di Amsterdam (1919-1920) dan Paris (1930). Setelah pensiun sebagai dokter (1936), ia mengelola pertanian “Boelak Ngalaran” di Walikukun, Ngawi, Jawa Timur.

Radjiman termasuk salah seorang tokoh pergerakan yang utama. Ia merupakan anggota Boedi Oetomo sejak berdirinya organisasi itu pada tahun 1908 dan menjadi anggotanya setelah berubah menjadi Partai Indonesia Raya (1935).  Pada tahun 1908 ia menjadi salah seorang anggota pertama Volksraad (Dewan Rakyat) bentukan pemerintah Hindia Belanda dan duduk selama beberapa periode hingga tahun 1931.
Pada masa kemunculan berbagai studie club pada tahun 1925-an, sebagai anggota salah satu perkumpulan itu, ia memimpin penerbitan majalah tengah bulanan Timbul (1926-1930). Di majalah itu ia banyak menulis mengenai kesenian Jawa dan “kawruh Jawa”.
Pada zaman pendudukan Jepang ia duduk sebaai anggota Syu Sangi-Kai (Dewan Pertimbangan Daerah) Madiun dan kemudian ditarik ke pusat menjadi anggota Chuo-Sangi-Kai (Dewan Pertimbangan Pusat) dengan sebutan Gi-in atau anggota (1943). Setelah Poetera (Poesat Tenaga Rakyat)terbentuk, ia duduk dalam Majelis Pertimbangan.
Pada akhir Mei 1945 Jepang menunjuk Dr. Radjiman sebagai Ketua BPUPKI. Beberapa waktu kemudian BPUPKI menjadi PPKI  (Panaitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Zyunbi Inkai dengan ketua Ir. Sukarno dan wakil Drs. Mohammad Hatta, sedangkan Dr. Radjiman duduk sebagai salah seorang anggota.
Pada awal kemerdekaan, ia menjadi anggota KNIP (Kominte Nasional Indonesia Pusat) dan  dan kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Republik Indonesia. Dalam perkembangannya, seluruh badan perwakilan menjadi DPR-RI. Sebagai anggota tertua Dr. Radjiman mendapat kehormatan memimpin lembaga itu. Tidak lama kemudian beliau wafat karena usia lanjut. Jenazahnya dimakamkan di Desa Mlati, Sleman, Yogyakarta di dekat makam Dr. Wahidin Soedirohoesodo yang telah membesarkannya (Soebagio I.N. dan Bambang Widiatmoko, 2004 : 286).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan