Suprijadi (1923-1945)


Ketidakpuasan di kalangan anggota Peta menimbulkan berbagai macam pemberontakan dan insiden, seperti pemberontakan Peta di Blitar di bawah pimpinan Supriadi pada tanggal 14 Februari 1945. Detasemen Peta di Blitar menyerang gudang senjata Jepang dan membunuh bebeapa serdadu Jepang. Sebanyak 68 orang prajurit Peta diajukan ke depan mahkamah militer. Delapan orang dihukum mati. Empat orang pejabat senior dipaksa untuk meletakkan jabatan.
Suprijadi lahir di Trenggalek, Jawa Timur, dan menjadi piatu sejak kecil. Ayahnya seorang pegawai pamong praja. Ia mendapatkan pendidikan formal yang memadai. Dari sekolah rendah Belanda, ia melanjutkan ke MULO dan AMS. 
Setelah mengikuti latihan semi militer kepemudaan di Tangerang pada jaman Jepang, ia menjadi anggota Bo-ei-Gyugun, pasukan Pembela Tanah Air (Peta), dan ditempatkan di Peleton I Kompi III pasukan Peta di Blitar sebagai komandan. Menyaksikan kekejaman tentara Jepang terhadap bangsa Indonesia, hatinya tergerak. Tanggal 14 Februari 1945 ia memimpin pemberontakan terhadap Jepang. Meskipun gerakan itu dapat dipadamkan dalam waktu relatif singkat, sejumlah serdadu Jepang terbunuh. Para prajurit pemberontak kemudian menyingkir.
Jepang mengajak pasukan pemberontak yang masih tersisa kembali ke tangsi dengan jaminan bahwa mereka tidak akan dihukum. Sejumlah anak buah Suprijadi kemudian menyerahkan diri. Ternyata mereka dilucuti, ditahan, disiksa dan dihadapkan ke Pengadilan Militer Jakarta. Enam di antara mereka dihukum mati, sebagian dimasukkan Penjara Cipinang dan sebagian lagi diasingkan ke Gambyok, daerah yang terkenal tandus di Jawa Timur. 
Dalam Kabinet Presidensial RI yang pertama, nama Suprijadi tercantum sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Karena ia tidak pernah muncul, jabatan itu dialihkan kepada Jenderal Soedirman (Soebagijo I.N., 2004 : 419-420).
Apakah Suprijadi masih hidup atau sudah tiada, masih menjadi misteri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan