Laksamana Maeda

Meskipun pihak AL Jepang masih menentang setiap usaha untuk memajukan nasionalisme di wilayah kekuasaannya, seorang perwira angkatan laut yang luar biasa yang ditempatkan di Jawa kini mengambil peran aktif. Laksamana Madya Maeda Tadashi bertuga menangani Kantor Penghubung AD-AL di Jakarta. Dia mempunyai pandangan-pandangan maju mengenai nasionalisme Indonesia. Maeda menjadi orang kepercayaam banyak orang Indonesia terkemuka dari berbagai tingkat usia.
Pada bulan Oktober 1944 Maeda mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta untuk melatih para pemimpiin pemuda yang baru bagi sebuah negara merdeka. Ia juga menemukan cara untuk menyusup ke jaringan-jaringan bawah tanah pemuda yang telah ada. Dia menggunakan dana angkatan laut untuk membiayai perjalanan pidato keliling Sukarno dan Hatta, bahkan mengirim mereka ke Makasar pada bulan April 1945 serta ke Bali dan Banjarmasin pada bulan Juni 1945.
Maeda dilahirkan di Kagoshima, Kyushu, Jepang, yang juga tempat kelahiran Laksamana Togo yang terkenal karena mengalahkan armada Rusia dalam Perang Jepang-Rusia tahun 1905. Dalam karir kemiliterannya,Maeda menjadi Atase Militer Jepang di Den Haag dan Jerman pada masa sebelum perang. Atas dasar pengalamannya ia ditempatkan di Jakarta sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sejak tahun 1942.
Perhatian dan simpatinya terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia telah tumbuh sejak ia menjabat atase militer di Nederland. Di negara ini Maeda mengadakan hubungan dengan tokoh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di sana, antara lain Achmad Soebardjo.

Karena dukungannya terhadap persiapan proklamasi Indonesia ia ditangkap oleh Sekutu pada tahun 1946 dan dipenjarakan di Gang Tengah selama satu tahun. Setelah itu ia dikembalikan kepada Jepang.

Atas jasa-jasanya, pada tahun 1973 Maeda diundang oleh pemerintah Indonesia untuk menghadiri perayaan Proklamasi 17 Agustus. Dalam kesempatan itu ia bertemu dengan Hatta. Ia juga menerima Bintang Jasa Nararya dari Pemerintah Indonesia, yang diserahkan oleh duta besar RI untuk Jepang, Antonius Joseph Witono (Soebagijo I.N.).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan