Chuo Sangi-in (Dewan Penasihat Pusat)
Untuk menggalang dukungan terhadap perang yang semakin memburuk, Jepang memberi kemerdekaan semu pada Burma pada bulan Agustus 1943 dan Filipina pada bulan Oktober 1943. Jawa dianggap belum siap memperoleh kemerdekaan, tetapi beberapa dewan dibentuk untuk memberi kesan adanya partisipasi rakyat. Jumlah orang Indonesia yang menjadi penasihat (sanyo) pemerintahan Jepang semakin banyak. Di Jakarta dibentuk Dewan Penasihat Pusat (Chuo Sangi-in) yang diketuai oleh Sukarno. Dewan-dewan Penasihat Daerah (Shu Sangi-kai) juga dibentuk. Sementara di Sumatra, pada akhir tahun 1943, Angkatan Laut Jepang tidak melakukan yang sama di wilayahnya, kecuali hanya memperkenankan adanya beberapa konsultan dalam pemerintahan kotapraja (Ricklefs, 2003 : 417).
Chuo Sangi-in atau Dewan Penasihat Pusat, ada yang menyebutnya Dewan Pertimbangan Pusat, berada di bawah pengawasan langsung Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi Tentara Keenam-belas). Tugas Dewan adalah mengajukan usul, memberi jawaban akan pertanyaan pemerintah, dan mengajukan usul kepada Saiko Shikikan.
Masalah-masalah yang dapat dirundingkan oleh Dewan sangat terbatas dan ditujukan untuk kepentingan pemerintah pendudukan , antara lain mengembangkan pemerintah militer; dan mempertinggi derajat rakyat, pendidikan dan penerangan, industri dan ekonomi, kemakmuran dan bantuan sosial, serta kesehatan.
Struktur keanggotaan Dewan adalah sebagai berikut: 23 orang diangkat oleh Saiko Shikikan; 18 orang dipilih dari anggota Shu Sangi-Kai dan Tokubetsu Shi Shangi-Kai; dan dua orang diusulkan dari Kochi (Daerah Istimewa : Yogya dan Solo). Di antara anggota yang dipilih maupun yang diangkat terdapat 21 orang golongan nasionalis, 6 orang golongan Islam, 8 orang pangreh praja, dan 3 orang Cina.
Sidang Chuo Sangi-In berlangsung delapan kali.
1.
Sidang pertama, 16-20 Oktober 1943, membahas masalah
pengerahan tenaga untuk kepentingan perang, memperkokoh pembelaan tanah air
dengan Peta dan Heiho, dan mepertinggi semangat perang.
2.
Sidang kedua, 30 Januari- 3 Februari 1944, membahas
masalah penyempurnaan kekuatan di Jawa, dan mulai menerima kritik terhadap
pemerintah dari anggota, misalnya dari dr. Buntaran dan Mr. Samsoedin.
3.
Sidang ketiga, 7-11 Mei 1944, membahas kesadaran dan
persaudaraan yang harus dipupuk di antara rakyat.
4.
Sidang keempat, 12-16 Agustus 1944, membahas masalah
produksi dan memperkuat pertahanan dan pembelaan rakyat.
5.
Sidang kelima, 11 September 1944, membahas tentang Indonesia
yang akan diberi kemerdekaan di kemudia hari, berdasarkan janji Koiso.
6.
Sidang keenam, 12-17 November 1944, berlangsung saat
Jepang sudah sangat terdesak oleh serangan Sekutu. Oleh sebab itu masalah yang
dibahas berkisar pula pada cara-cara mempersatukan segala tenaga, mempertinggi
semangat muda ke arah perjuangan dan
pembentukan Indonesia merdeka.
7.
Sidang ketujuh, 21-26 Februari 1945, membahas masalah usaha-usaha
untuk mencapai kemenangan akhir dan tercapainya kemerdekaan Indonesia di
kemudian hari.
8.
Sidang terakhir, 18-21 Juni 1945, membahas masalah cara
membangkitkan semangat rakyat untuk memperkuat persiapan kemerdekaan Indonesia
secepatnya.
Dari delapan kali sidang, dua sidang terakhirlah yang benar-benar
dimanfaatkan anggota untuk merealisasikan usul-usul mempersiapkan negara
Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Jepang lalu mengizinkan dibentuknya Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 28
Mei 1945. Hampir separuh anggota Chuo Shangi-In menjadi anggota badan ini.
Upacara pembukaannya pun dilakukan di Gedung Shuo Shangi-In, Pejambon, kini
Gedung Pancasila (Erman, ENI Vol. 4, 2004 : 107).Pada tanggal 15 November 1943 delegasi Chuo Sangi-In yang terdiri atas Ir. Sukarno, Moh. Hatta, dan K.H. Bagoes Hadikoesoema, dengan diantar dua orang Jepang , Miyoshi dan Terada Kuchi, tiba di Tokyo untuk menghadap Tenno Heika yang telah memberi kesempatan bekerja sama dalam pemerintahan pendudukan militer Jepang.
Sejak bulan Maret 1944 , AL Jepang telah membentuk beberapa komite penasihat di daerah kekuasaannya, tetapi komite-komite itu tidak mempunyai kekuasaan, hanya beranggotakan para pejabat serta bangsawan pribumi, dan hanya mengandalkan pertemuan beberapa kali sebelum menyerahnya Jepang. Angkatan Darat ke-25 di Sumatra mengumumkan berdirinya suatu Badan Penasihat Pusat (Sumatra Chuo Sangi-in) yang sifatnya konsultatif untuk pulau itu pada bulan Maret 1945, tetapi lembaga itu hanya satu kali mengadakan pertemuan di Bukittinggi sebelum berakhirnya perang (Ricklefs, 2003 :421).
Komentar
Posting Komentar