Pajajaran dan Kidung Sunda
Nama Pajajaran termuat dalam dua prasasti, yaitu prasasti Batutulis dan prasasti Kabantenan dan juga dalam cerita Parahiyangan dari abad ke-16.
Prasasti Batutulis : " (1) ...pun, ini sakakala prabu ratu purana pun, diwastu ; (2) diva wingaran prabu guru dewataprana diwastu dija dingaran sri ; (3) baduga, maha raja ratu haji dipakwan Pajajaran. Sri sang ratu; (4) dewata pun ya nu nyusuk na pakwan, dija anak rahiyang; (5) niskala sasida mokta di guna tiga, i (n) cu rahiyang niskala wastu; (6) ka (n) cana sasida mokta ka nusa lara (ng) ya siya nu nyiyan; (7) sakakala gugunungan ngabalay ngiyan samida nyiyan Sa (ng) hiyang talaga; (8) rena maha wijaya ya siya pun, i saka panca pandawa...ban bumi."
Nama nama raja-raja Pajajaran berbeda beda satu sama lain tergantung sumbernya: Babad Pajajaran, Babad Galuh dan cerita Parahyangan. Babad Pajajaran dan Babad Galuh memberi sepuluh nama yang berbeda meski ada dua atau tiga nama yang sama : Ciung Wanara, Lingga Wesi dan Siliwangi. Sedangkan cerita Parahiyangan memberi 31 nama.
Sebelumnya telah ada kerajaan Sunda dengan rajanya yang terkenal bernama Jayabupati berdasar prasasti Sanghyang Tapak berhuruf Jawa Kuno bertahun 952 Saka atau 1050 M yang ditemukan di Cibadak Sukabumi. Dalam perkembangannya kerajaan Sunda berpindah pindah hingga ke Kawali. Versi lain mengatakan ada dua kerajaan di Tatar Sunda : Sunda dan Galuh.
Sebelumnya telah ada kerajaan Sunda dengan rajanya yang terkenal bernama Jayabupati berdasar prasasti Sanghyang Tapak berhuruf Jawa Kuno bertahun 952 Saka atau 1050 M yang ditemukan di Cibadak Sukabumi. Dalam perkembangannya
Salah seorang raja Sunda (Galuh) gugur dalam peristiwa Bubat tahun 1357. Pada waktu itu Raja Hayam Wuruk bermaksud menjadikan putri raja Galuh bernama Dyah Pitaloka Citaresmi sebagai permaisurinya. Setelah datang di Majapahit, Dyah Pitaloka dan ayahnya bersama para pembesar, dengan tipu muslihat dibinasakan oleh Gajah Mada yang tidak menghendaki perkawinan itu. Sejak itu hubungan Hayam Wuruk dan Gajah Mada memburuk dan Majapahit memudar pengaruhnya. Kisah ini terdapat dalam Kidung Sunda dari Jawa Tengah.
Isi Kidung Sunda : Hayam Wuruk Raja Majapahit yang masih muda dan belum beristri melamar putri Kerajaan Sunda yang jelita. Lamarannya dikirim melalui sepucuk surat yang dipercayakan pada mantri seniornya bernama Madhu. Madhu berlayar ke kerajaan Sunda selama enam hari. Raja Sunda gembira menerima lamaran ini. Keluarga Raja Sunda kemudian berangkat ke Majapahit dengan rombongan 200 kapal besar dan 2000 kapal kecil diiringi oleh Patih Anepaken. Setiba rombongan di Desa Bubat, akuwu Bubat segera melaporkan hal ini ke istana. Pihak istana mempersiapkan sambutan secara besar-besaran namun Gajah Mada cemberut. Ia tidak suka rajanya menyongsong pengantinnya. Raja Majapahit disarankan tetap tinggal di ibukota. Kejadian ini terdengar di Bubat. Patih Anepaken menyiapkan 300 tentaranya. Raja Majapahit dinilai ingkar janji. Setelah utusan Sunda gagal berunding dengan Gajah Mada, raja Sunda siap mempertaruhkan harga dirinya melawan Majapahit. Bubat kemudian diserang tentara Majapahit. Rombongan dari Sunda melawan dengan gagah berani. Semua gugur kecuali Pitar mantri Sunda. Ia menyusup ke istana Majapahit dan memberitahukan malapetaka ini kepada Hayam Wuruk. Raja Hayam Wuruk amat sedih menyaksikan calon istrinya tewas. Tak lama, raja Hayam Wuruk wafat karena kepedihan hatinya. Semua pihak di Majapahit menyalahkan Gajah Mada. Rumah kepatihan Gajah Mada dikepung tentara Majapahit. Gajah Mada menyadari bahwa saatnya untuk kembali ke surga telah tiba. Ia kemudian beryoga dan kemudian lenyap. Ketika tentara Majapahit menggeledah seluruh kepatihan, mereka tak menemukan Gajah Mada.
Zoetmulder menilai Kidung Sunda bergaya bahasa lancar dan jelas, memiliki unsur romantis dan dramatis yang amat memikat. Pelukisan watak para tokohnya begitu hidup sehingga akan menarik bagi pembaca sastra modern (Soemardjo, 2002:406).
Selain itu peristiwa tragis di Bubat juga diabadikan pada sebuah lukisan dari Bali. Lukisan Bali tersebut dimuat dalam Indonesian Heritage Vol. 1 : Sejarah Awal terbitan tahun 2002.
Setelah peristiwa Bubat itulah kerajaan Sunda dan Galuh yang tadinya berdiri sendiri kemudian bersatu menjadi kerajaan Pajajaran melalui tali perkawinan.
Pajajaran mulai goyah pada masa Prabu Ratu Dewata (1535-1543) ketika terjadi serangan tentara kerajaan Banten yang dipimpin Maulana Hasanuddin dan Maulana Yusuf. Pada saat itu Pajajaran bekerja sama dengan Portugis dengan memberi konsesi pada Portugis untuk menggunakan pelabuhan Sunda Kelapa sebagai benteng mereka. Portugis memberi barang barang yang diperlukan dan Raja Pajajaran memberi 1000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Hal itu tercatat pada padrau yang ditemukan tahun 1918 dan kini disimpan di Museum Nasional (ENI, 2002:404).
Kerajaan Demak menganggap perjanjian persahabatan Pajajaran-Portu gis sebagai suatu ancaman baginya. Maka pada tanggal 22 Juni 1527 pasukan gabungan Demak-Cirebon di bawah Fatahillah merebut Sunda Kelapa. Tanggal 22 Juni inilah yang hingga kini selalu dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta. Sejak itu nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta yang berarti kota kemenangan.
Komentar
Posting Komentar