Sriwijaya Negara Maritim Yang Menguasai Nusantara

Beberapa prasasti berbahasa Melayu Tua di dekat Palembang dan pulau Bangka bertahun 683 menceritakan adanya kerajaan Sriwijaya yang menguasai selat Malaka dan daerah sekitarnya selama berabad abad. Buda Mahayana berkembang di Sriwijaya dan seperti tertulis di prasasti, raja bersumpah menapaki jalan yang sulit menuju pencapaian tingkat Buda yang sempurna.

Sebuah prasasti berupa sumpah kesetiaan dan kutukan pada pemberontak dibuat saat armada Sriwijaya berlayar melewati Bangka menuju Jawa Barat, suatu daerah yang tidak setia kepada Sriwijaya (Casparis).

Sebuah prasasti lainnya yang ditemukan di Sabukingkin Palembang yang dinamakan prasasti Telaga Batu berisi sumpah kesetiaan. Barang siapa minum air kesetiaan kemudian melanggar sumpah akan teracuni oleh air kesetiaan itu.
"Om ! Sukses ! Kalian semua ... putra raja... komandan, pemimpin pasukan, orang kepercayaan raja, hakim, mandor, pengawas kasta rendah, pembuat pisau dan peralatan dapur... juru tulis, pemahat, kapten kapal, saudagar... tukang cuci raja dan para budak raja -- kalian semua akan dibunuh oleh kutukan ini, jika kalian tidak setia kepadaku, kalian akan dibunuh oleh kutukan...
Tetapi jika kalian tunduk, setia dan berbuat lurus kepadaku dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan, maka tantra yang suci akan menjadi imbalan dariku. Kalian tidak akan ditelan besama anak-anak dan istri-istrimu...kedamaian abadi merupakan buah yang dihasilkan oleh kutukan ini yang diminum oleh kalian."
Prasasti Telaga Batu ini dikoleksi oleh Museum Nasional Jakarta.

Prasasti Sriwijaya tidak hanya ditemukan di Palembang, Bangka, Jambi, Lampung dan Kalimantan tapi juga di Malaysia dan Thailand. I-Ching peziarah Cina yang terkenal menyebut bahwa Kedah di Malaysia takluk di bawah Sriwijaya pada tahun 670.

Biksu biksu Buda dari Cina yang ingin ke India seringkali berhenti bahkan menetap bertahun tahun di Shi-li-fo-shih (Sriwijaya) untuk belajar bahasa Sanskerta. I-Ching bahkan tinggal hingga 10 tahun.
Teks teks Cina menyebut Sriwijaya sebagai pelaku perdagangan utama di Laut Selatan. Cina pun terlibat perdagangan dengan Sriwijaya antara lain untuk komoditas seperti kemenyan, damar, kapur barus, mrica dan rempah rempah (Manguin).
Prasasti di Nakhon Si Thamarat Thailand bertanggal 775 menyebutkan bahwa beberapa bangunan suci Buda dibuat oleh raja Sriwijaya. Sementara prasasti di Bangladesh menyebutka raja Balaputra dari wangsa Syailendra membangun kuil di pusat agama Buda di Nalanda, Bangladesh.

Sriwijaya mengalami masa keemasan di abad ke-10. Pedagang-pedagang Arab dan ahli geografi dari Iraq menyebut Maharaja Zabaq (Sriwijaya) merupakan salah satu raja yang paling kuat di jalur perdagangan laut kala itu.

Kemajuan Sriwijaya memancing kerajaan Cola dari India untuk melakukan agresi. Pada tahun 1017 dan 1025 armada Cola menyerang pelabuhan Sriwijaya di Selat Malaka. Mereka pun menangkap raja Sriwijaya. Setelah itu serikat pedagang Tamil semakin banyak. Di samping itu Cina mengambil bagian keuntungan lebih besar dari perdagangan Indonesia dan pengaruh Jawa makin meningkat di Sumatra. Kekuasaan ekonomi Sriwijaya akhirnya runtuh dan pada abad ke-11 pusat politik mereka pindah dari Palembang ke Jambi.

Pada abad ke-13 Sriwijaya menjelang runtuh. Kapal kapal tak tertarik untuk singgah. Kerajaan Tambralingga bebas menyebrang ke teluk Benggali menyerbu Sri Lanka. Bangsa Thai memperoleh kekuasaan atas beberapa jazirah yang dulu dikuasai Sri Wijaya.

Hikayat Hang Tuah :

"Maka diketahui oleh semua bangsa bahwa Bukit Seguntang diperintah ole raja yang sangat baik hati dan sopan santun, serta peduli terhadap semua orang asing. Setelah terdengar di semua negara, orang-orang dari semua tempat datang berkumpul di Bukit Seguntang dan mereka pun datang dari luar negri lewat laut dan lewat darat untuk mengunjungi raja ini. Dan begitu banyak penghormatan diberikan kepadanya sehingga namanya menjadi harum di antara semua negara tetangga Sriwijaya. Dan Bukit Seguntang dengan demikian menjadi pelabuhan yang sangat ramai dan negri besar yang mempunyai pejabat sipil dan militer dan kaum ningrat dan rakyat."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan