Wangsa Warmmadewa

 Pada akhir abad ke-10 seorang putri Jawa Timur bernama Gunapriya menikah dengan Udayana dari dinasti Warmmadewa. Selanjutnya pengaruh kebudayaan Jawa di Bali menjadi sangat kuat. Bahasa Jawa Kuna mulai digunakan untuk prasasti resmi. Diperkenalkan pula dewan penasihat gaya Jawa yang anggota anggotanya diambil dari para komandan militer dan dari para pendeta Siwa dan Buda.

Anak Udayana dan Gunapriya yang bernama Airlangga menikah dengan putri Jawa anak Dharmawangsa Teguh. Setelah berhasil mengalahkan musuh yang menghancurkan kerajaan mertuanya, Airlangga dinobatkan menjadi raja di Jawa pada tahun 1037. Meski anak Udayana, Airlangga tidak pernah menjadi raja di Bali.
Darmawangsa Marakata adik laki-laki Airlangga memerintah Bali tahun 1022-1025. Dharmawangsa digambarkan dalam prasasti sebagai pelindung rakyat dan sumber keadilan hukum.

Anak Wungsu, putra bungsu Gunapriya dan Udayana kemudian naik tahta. Anak Wungsu mengeluarkan 28 prasasti di selatan tengah dan utara Bali menunjukkan bahwa kerajaannya cukup luas secara geografis. Dalam prasasti itu Anak Wungsu digambarkan sebagai raja yang penuh kasih sayang dan selalu menyempurnakan mandala di Pulau Bali.
Anak Wungsu digantikan oleh Sri Maharaja Sri Walaprabu yang berkuasa tahun 1079-1088. Ia menggunakan gelar Sanskerta "Sri Maharaja" sementara raja raja sebelumnya memakai gelar Sang Ratu atau Paduka Haji.

Raja raja setelah Walaprabhu nampaknya bukan lagi dari wangsa Warmmadewa. Mereka nampaknya memiliki hubungan dekat dengan raja raja Jawa Timur. Raja terakhir dinasti ini adalah Paduka Bhatara Prameswara Sri Hyang ning Hyang Adidewalancana.Pada masa ini Bali diserang dan ditundukkan oleh raja Singasari, Krtanegara. Kemudian Singasari menempatkan seorang non bangsawan bernama Raja Patih Makakasir Kbo Parud sebagai wakil raja Jawa untuk mengelola Bali (Hadiyati, 2002:107).

Situs situs periode klasik madya di Bali bisa dijumpai di Goa Gajah, Gunung Kawi, Panulisan, Sungai Petanu dan Sungai Pakerisan. Di Situs Gunung Kawi, Gianyar, terdapat makam raja dan makam ratu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan