Pembahasan UUD 1945


Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta, dibacakan oleh  Sukarno  atas nama bangsa  Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 di kediaman Sukarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, disusul dengan penaikan bendera Sang Merah Putih. Itu menjadi penanda dimulainya Revolusi Indonesia. Ada yang mengatakan revolusi berlangsung dari tahun 1945-1950. Bagi Sukarno sendiri, revolusi belum selesai sebelum Sosialisme Indonesia tercapai.

Keesokan harinya setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, pada tanggal 18 Agustus 1945 bertempat di Gedung Komonfu, Jalan Pejambon No. 2, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dipimpin Sukarno  sebagai Ketua dan Hatta sebagai Wakil Ketua, mengadakan sidang pertama. Saat itu masih bulan Puasa. Acara yang akan dimulai pukul 09.30 baru dibuka oleh Ketua pukul 10.00. Anggota yang hadir 25 orang. Mereka adalah : Soepomo, Radjiman, Soeroso, Soetardjo, Wachid Hasjim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata, Abdoel Kadir, Soerjohamidjojo, Poeroebojo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Dr. Amir, Abdoel Abbas, Moh. Hasan, Hamidhan, Ratulangi, Andi Pangeran, I Gusti Ktoet Poeja, Wiranatakoesoema, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman, Sajoeti, Iwa Koesoema Soemantri,  dan Ahmad Soebardjo.

Dalam pembukaan sidang pertamanya, Ketua PPKI Sukarno berkata : “Sidang yang terhormat. Pada hari ini kita berada pada suatu saat yang mengandung sejarah. Pada hari ini kita menyusun Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang kemerdekaannya kemarin, menurut kehendak rakyat, telah dipermaklumkan dengan proklamasi yang diumumkan kepada rakyat kita-kira jam setengah 12 ( Waktu Nippon)...”

Selanjutnya Sukarno memberi kesempatan kepada Hatta untuk untuk menyampaikan perubahan-perubahan pada Pembukaan dan UUD dan kemudian dibahas bersama.
1. Pembukaan
Dengan  interupsi dari Ki Bagoes Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata dan I Goesti Ktoet Poedja,  pembukaan UUD NRI dikisahkan secara aklamasi. Ada perubahan kata dari “Atas berkat Allah Yang Maha Esa” menjadi “Atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa.”
2. Undang-undang Dasar
Setelah pembukaan disepakati Sukarno melanjutkan ke pasal-pasal dalam UUD. Khusus untuk susunan pemerintahan Sukarno memberi waktu istirahat sekitar 12 menit untuk memberi kesempatan Soepomo menjelaskan susunan pemerintahan kepada para anggota PPKI yang lain. Setalah susunan pemerintahan disepakati , Sukarno memberi kesempatan kepada  para anggota untuk memberi pemandangan umum mengenai algemene Geest (jiwa daripada Grondwet), baru kemudian membahasa pasal-pasal. Hasil dari pembahasan itu adalah sebagai berikut :

a. Susunan Pemerintahan :
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat ( DPR, Utusan-utusan Daerah – Golongan-golongan)
2) Kehakiman – Dewan Pertimbangan Agung – Presiden / Wakil Presiden– Dewan Perwakilan – Badan Pemeriksa Keuangan
3) Menteri Negara
4) Pemerintah Daerah
5)  Kooti - Desa

b. Pasal-pasal  yang diubah
1) Pasal 6 alinea 1 : berubah menjadi “Presiden adalah orang Indonesia aseli.” Kata “Yang beragama Islam” dicoret.
2) Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.” Kata di belakangnya, “dengan kewajiban...” dicoret.
3) Pasal 4, Pasal 7 dan Pasal 8, Pasal 9. Intinya mengganti kata “ Wakil-wakil Presiden” menjadi “Wakil Presiden.”
4) Pasal 9, kata “mengabdi kepada Nusa dan Bangasa” diganti dengan “berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
5) Bab XVI Pasal 37 diubah dengan usulan Soepomo mengenai kuorum untuk mengubah UUD. Hasil akhirnya : Ayat (1) Untuk mengubah Undang-undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir; Ayat (2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir.
6). Setelah Aturan Peralihan ada Aturan Tambahan. Gagasan ini datang dari Ratulangi dengan redaksi akhir dari Sukarno. Bunyi Aturan Tambahan adalah sebagai berikut : Ayat (1) Dalam enam bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini; Ayat (2) Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.
Baik Pasal 37 maupun Peraturan Tambahan dan Peraturan Peralihan memakan waktu panjang untuk pembahasannya.

Sukarno kemudian menunjuk sembilan orang Panitia Kecil (Kusuma, 2004 : 468 -491; Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).

Sebelum membahas Aturan Tambahan, Sukarno membahas mengenai pemilihan presiden. Jalannya pemilihan Presiden dan  Wakil Presiden yang pertama insya Allah saya sampaikan pada tulisan berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan