PPKI Versus Para Pemuda
Sejak adanya janji kemerdekaan oleh Jepang yang dikenal dengan “Pernyataan Koisyo” , pelbagai golongan pun diberi kesempatan oleh Jepang untuk mengembangkan politik. Mulai saat itulah terasa memuncaknya perjuangan menuju proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang digerakkan oleh golongan tua maupun golongan muda. Kedua golongan itu sepakat bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia harus segera diproklamasikan, hanya cara mengemukakan pendapat dan cara melaksanakannya yang berbeda. Adanya perbedaan inilah yang menimbulkan ketegangan hubungan antara golongan tua yang terwakili dalam BPUPKI/PPKI dan golongan muda yang terwakili dalam beberapa kelompok pemuda yang tersebar dalam Asrama Menteng 31, Asrama Indonesia Merdeka dan Asrama Prapatan. Sebelum menjelaskan mengenai asrama-asrama itu, saya ingin menyampaikan adanya Gerakan Bawah Tanah (GBT).
Gerakan Bawah Tanah (GBT).
GBT di Indonesia pada zaman perjuangan kemerdekaan dilakukan oleh pemimpin-pemimpin nasionalis Indonesia yang menolah bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang. Gerakan mereka tidak menjurus ke perlawanan bersenjata, akan tetapi lebih bertujuan untuk menggalang solidaritas dan memperteguh cita-cita perjuangan.
Seperti sudah saya sampaikan dalam penulisan terdahulu, pemimpin-pemimpin nasionalis Indonesia memutuskan untuk melakukan perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui dua cara, “gerakan atas tanah” (GAT), yakni berjuang dalam kerangka pemerintahan pendudukan Jepang, dan “gerakan bawah tanah” (GBT), yakni gerakan secara rahasia di luar kerangka pemerintahan. Sejak tahun 1942, sejumlah pemimpin nasionalis di bawah pimpinan Sukarno-Hatta menyatakan diri bekerja sama dengan pemerintahan pendudukan Jepang. Sjahrir dengan beberapa tokoh lainnya bergerak secara sembunyi-sembunyi meneruskan perjuangan ke arah kemerdekaan. Tokoh-tokoh GAT dan tokoh GBT senantiasa mengadakan hubungan secara rahasia, antara lain melalui Johan Sahruzal dan A. Halim.
GBT Sutan Sjahrir terbatas pada kontak-kontak pribadi dengan sejumlah tokoh nasionalis lainnya dan golongan pemuda. Salah satu kegiatannya adalah mendengarkan radio Sekutu secara diam-diam dan menyebar luaskan informasi di antara mereka, serta melakukan diskusi. Kelompok Sjahrir ini menyebar sampai di luar Jakarta, seperti di Cirebon, Garut dan Semarang. Tokoh utama dalam jaringan bawah tanah ini adalah dr. Sudarsono dari Cirebon. Sementara itu Amir Sjarifuddin bergerak lebih radikal dan membangun jaringan di kalangan pemuda namun segera tercium Jepang dan ditangkap. Karena campur Sukarno ia terhindar dari hukuman mati (Masyhuri, ENI Vol. 3, 2004 : 218).
Tempat-tempat strategis untuk GBT ini adalah asrama-asrama, yang akan saya sampaikan pada penulisan mendatang.
Komentar
Posting Komentar