Kabinet Natsir dan Sistem Parlementer
Presiden Sukarno membubarkan RIS pada 17 Agustus 1950 dan secara resmi kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (kesbangpolkulonprogo.co.id, 29 Agustus 2022).
Kabinet pertama (September – Maret 1951) dibentuk oleh Natsir dan berintikan Masyumi dengan dukungan PSI setelah usaha membentuk koalisi Masyumi – PNI gagal. Kabinet Natsir meletakkan jabatan setelah berkuasa selama lebih kurang tujuh bulan.
Pada masa Natsir ini pemberontakan RMS berakhir pada November 1950. Pada tahun 1951 serdadu-serdadu kolonial asal Ambon yang menolak didemobilisasikan di Indonesia sebanyak 12.300 orang berserta keluarganya diangkut ke negeri Belanda.
Selama memerintah Natsir menjalankan beberapa program:
1. Mempersiapkan dan mengatur pemilihan umum untuk Majelis Konstituante nasional dalam waktu sesingkat mungkin;
2. Mengkonsolidasikan dan menyempurnakan pemerintahan agar sesuai dengan UUD Sementara;
3. Berjuang keras untuk perdamaian dan keamanan di seluruh bangsa;
4. Memperkuat perdagangan sebagai dasar dari ekonomi nasional yang sehat, dan mewujudkan hubungan yang harmonis antara pengusaha dan pekerja;
5. Mempercepat pembangunan perumahan rakyat, meningkatkan kesehatan, dan mempromosikan pengembangan standar hidup;
6. Menyempurnakan organisasi angkatan bersenjata dan mentransfer pasukan yang didemobilisasi dari kedua tentara regular dan unit gerilya untuk kehidupan sipil;
7. Berusaha untuk mencari solusi dari masalah New Guinea pada akhir 1950.
Tujuan keseluruhan dari program ini adalah transformasi ekonomi kolonial lama menjadi ekonomi baru (Kahin 1950: 212).
Sistem Parlementer
Kabinet Natsir bertanggungjawab kepada parlemen satu kamar (Dewan Perwakilan Rakyat) yang berjumlah 232 orang dengan perincian sebagai berikut: Masyumi mendapat 49 kursi (21%), PNI 36 kursi (16%), PSI (17 kursi (7,3%), PKI 13 kursi (5,6%), Partai Katholik 9 kursi (3,9%), Partai Kristen 5 kursi (2,2%), dan Murba 4 kursi (1,7%). Sedangkan lebih dari 42 persen kursi dibagi di antara partai-partai atau perorangan.
Sukarno selaku presiden tidak memiliki kekuasaan riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet. Sesuai konstitusi Natsir bersikeras agar Sukarno membatasi dirinya dalam peran presiden sebagai lambang saja. Sukarno tidak begitu senang dengan peranan semacam itu dan merasa dirinya semakin cocok dengan pandangan PNI dan kelompok radikal (Rickleffs, 2005 : 481).
Perdana Menteri berikutnya (April 1951 – Februari 1952) adalah Sukiman Wirjosandjojo, yang membentuk koalisi Masyumi-PNI. Sukarno lebih senang dengan susunan ini.
Komentar
Posting Komentar