Coen dan Batavia

Saat Sultan Agung hendak melakukan ekspansi ke Banten ia menghadapi kenyataan bahwa antara Mataram dan Banten ada Batavia. Karena itu Sultan Agung melakukan dua kali ekspedisi laut untuk merebut Batavia.

Batavia yang didirikan Coen pada tahun 1619 dibangun di Sundakelapa, bandar penting kerajaan Pajajaran.

Pada tahun 1522 Portugis mendapat izin membangun benteng di kota ini yang menjadi sandungan bagi penyebaran Islam. Lima tahun kemudian Sundakelapa diserang oleh gabungan kesultanan Demak dan Cirebon. Setelah ditaklukkan berubah nama menjadi Jayakerta.

Pada tahun 1618 Coen memindahkan kantor VOC dari Banten ke Jayakerta setelah mengalami kemunduran perdagangan lada dan gangguan bertubi-tubi dari raja setempat. Coen segera membentengi gudang kompeni. Tentu saja ia mendapat serangan dari Banten namun pada tahun 1629 dengan bantuan pasukan dari Maluku ia menghancurkan benteng, menyerobot tanah untuk VOC dan mengganti Jayakerta dengan Batavia.
Saat membangun Batavia Coen menjumpai kenyataan sulitnya membangun pemukiman Eropa di daerah tropik. Sangat sulit mengubah pegawai Kompeni menjadi penduduk yang mandiri. Tidak sulit mencari penjaga kedai dan muncikari tetapi sulit mencari tukang kayu, tukang batu, atau pandai besi yang mau membuka bengkel. Coen bahkan mengirim gadis gadis untuk diperistri penduduk Belanda. Coen akhirnya menyadari tidak sanggup menjadikan Batavia sebagai kota yang didasarkan pada kesalehan dan perniagaan.
Sekitar tahun 1730 Batavia menjadi kota metropolitan kaya dengan penduduk 20.000 dari berbagai bangsa di dalam benteng dan 100.000 di luar tembok, Ommenlanden. Dikunjungi kapal-kapal dari seluruh Asia, kota yang dibangun dengan bata dan saluran-saluran yang ditanami pohon di kiri-kanannya terkenal sebagai "Ratu dari Timur" (Blusse, 2002:74).

Gambaran romantis kota Batavia tidak berlangsung lama. Gabungan pertikaian sosial dan ekonomi antara kota dan desa menimbulkan pemberontakan kuli perkebunan tebu Cina terhadap majikan mereka orang Belanda di dalam tembok kota yang menyulut pembantaian pekerja Cina pada bulan Oktober 1740. Penggundulan hutan di pedalaman untuk perkebunan tebu dan tambak ikan membuat Batavia menjadi mimpi buruk ekologi. Memasuki tahun 1790 sebagian penduduk pindah dari kota yang penuh malaria ke dataran yang lebih tinggi yang disebut Weltevreden (sekarang disebut Lapangan Banteng).
Coen pendiri Batavia meninggal dunia di tahun 1629 karena wabah penyakit bertepatan dengan serangan pasukan Mataram yang kedua.

Coen, nama lengkapnya Jan Pieterszoon Coen lahir di pelabuhan Hoorn di daerah makmur Frisianland Barat Belanda pada tahun 1597 dan menghabiskan masa remajanya di Roma untuk belajar tata buku Italia (1600-1606).

Pada umur 20 tahun ia bergabung dengan VOC sebagai pedagang muda ke Timur dan tergabung dalam armada 13 kapal lengkap dengan senjata untuk melawan kapal-kapal Iberia. Armada di bawah pimpinan Pieter Willemszoon Verhoef itu kurang berhasil. Coen melihat di depan mata kepalanya sendiri bagaimana Verhoef dibunuh saat melakukan perundingan dengan kepala suku Banda.
Saat Coen pulang tahun 1610, direksi Kompeni menunjuk seseorang Gubernur Jendral untuk memimpin di Asia dibantu sebuah Dewan Urusan Hindia. Saat itu VOC membuat sistem tata buku terpusat. Reorganisasi VOC ini merupakan kesempatan bagi Coen untuk meningkatkan martabatnya melalui pelayarannya yang kedua ke Nusantara. 

Coen menggunakan pengetahuan tata bukunya sebagai Kepala Bagian Tata Buku VOC di Asia. Tahun 1613 karirnya naik menjadi Presiden di Kantor Cabang VOC di Banten. Saat itu Banten merupakan tempat singgah pertama dan terakhir seluruh kapal Belanda yang berlayar ke dan dari Nusantara. Di Banten pada bulan April 1618 inilah Coen menerima pengangkatannya sebagai Gubernur Jendral pada usia 31 tahun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan