Kesultanan Aceh Penguasa Sumatra Bagian Utara
Setelah tahun 1500 Aceh mulai menonjol dan seandainya Portugis tidak menduduki Malaka ada kemungkinan Aceh sudah melakukan hal yang sama. Pada masa Ali Mughayat Syah ia memulai serangan serangan. Ia merebut Daya di pantai barat Sumatra bagian utara yang belum menganut agama Islam. Ia pun melakukan serangan ke pantai timur yang merupakan penghasil lada dan emas. Setelah itu ia menaklukkan Deli. Pada tahun 1524 ia pun menaklukkan Pedir dan Pasai setelah mengusir garnisun Portugis, sebelum akhirnya menyerang Aru. Aru menjadi medan perebutan antara Aceh dan Johor hingga pada tahun 1613 Sultan Iskandar Muda berhasil merebutnya. Salahuddin putra Ali Mughayat Syah melancarkan serangan ke Malaka namun gagal dan kemudian diturunkan lewat suatu kudeta. Ia digantikan saudaranya Alauddin Riayat Syah al-Kahar. Alauddin menyerang rakyat Batak pada tahun 1539 karena mereka menolak memeluk agama Islam. Ia menyerang Aru tapi dipukul mundur pasukan Johor. Pada tahun 1547 ia menyerang Malaka tapi gagal. Baru pada serangan tahun 1560 ia berhasil. Kemudian ia merampok Johor membawa sultannya dan membunuhnya. Putra sultan yang dibunuh tadi didudukkan sebagai sultan Johor oleh Aceh. Nyatanya Johor begitu kuat hingga tidak bisa tunduk pada Aceh. Acehpun menarik diri pelan pelan.
Antara tahun 1581-1607 Aceh diperintah delapan orang sultan dua diantaranya berasal dari garis keturunan Raja Perak di Semenanjung Malaya yang diculik. Pada masa itu terjadi banyak pembunuhan, kudeta dan petualangan militer yang gagal.
Pada awal abad XVII Sultan Iskandar Muda menduduki tahta. Ia merupakan penguasa Aceh terbesar. Ia membentuk Aceh menjadi negara paling kuat di Nusantara bagian barat. Ia memiliki angkatan laut yang memiliki kapal kapal besar yang bisa mengangkut 800 prajurit. Ia memiliki pasukan kavaleri yang di antaranya menggunakan kuda kuda Persia dan satuan pasukan gajah. Ia juga memiliki altileri yang banyak serta pasukan-pasukan infantri.
Antara tahun 1581-1607 Aceh diperintah delapan orang sultan dua diantaranya berasal dari garis keturunan Raja Perak di Semenanjung Malaya yang diculik. Pada masa itu terjadi banyak pembunuhan, kudeta dan petualangan militer yang gagal.
Pada awal abad XVII Sultan Iskandar Muda menduduki tahta. Ia merupakan penguasa Aceh terbesar. Ia membentuk Aceh menjadi negara paling kuat di Nusantara bagian barat. Ia memiliki angkatan laut yang memiliki kapal kapal besar yang bisa mengangkut 800 prajurit. Ia memiliki pasukan kavaleri yang di antaranya menggunakan kuda kuda Persia dan satuan pasukan gajah. Ia juga memiliki altileri yang banyak serta pasukan-pasukan
Sebuah sketsa karya Peter Mundy menggambarkan arak-arakan Sultan Iskandar Muda ke Masjid Agung untuk merayakan Idul Adha pada tahun 1637. Di bagian depan pasukan gajah dengan tempat duduk diikat pada gading mengangkut prajurit pasukan bertombak. Di belakangnya pasukan gajah membawa tentara dengan meriam kemudian pasukan gajah membawa pemanah diikuti pasukan gajah membawa senapan. Di belakangnya beberapa prajurit berkuda dan sekelompok pasukan pengawal sultan terdiri dari orang kasim di atas kuda. Di sayap kiri dan kanan sultan penunggang kuda membawa tombak dan bendera terkibar. Sultan meninggalkan istana dengan duduk di atas sebuah tandu di atas seekor gajah dan diikuti pembawa kipas dan payung.
Sultan Iskandar Muda merebut Deli, Aru dan Johor - termasuk anggota keluarga mereka dan pedagang VOC. Johor kemudian membuat persekutuan dengan Pahang, Palembang, Jambi, Indragiri, Kampar dan Siak untuk melawan Aceh. Kendati begitu Aceh terus berlanjut bahkan mengalahkan armada Portugis di Bintan dan merebut Pahang dan memboyong penguasanya. Pada tahun 1620 Aceh menaklukkan Kedah, 1623 merampok lagi ibukota Johor dan pada tahun 1625 merebut Nias.
Pada tahun 1629 Aceh menggempur Malaka. Kali ini Portugis bisa menghentikan gerakan ekspansi Aceh. Ekspedisi Aceh yang terdiri beberapa ratus kapal dihancurkan. 19.000 prajuritnya hilang. Johor menegakkan kembali pengaruhnya di Semenanjung Malaya dan di selat Malaka bagian selatan. Sementara Sultan Iskandar Muda menjadi penguasa tertinggi atas pelabuhan-pelab uhan perdagangan yang penting di Sumatra bagian utara. Dia tidak pernah berusaha menaklukkan Lampung - penghasil lada di Sumatra bagian selatan yang berada di bawah kekuasaan Banten.
Pada tahun 1629 Aceh menggempur Malaka. Kali ini Portugis bisa menghentikan gerakan ekspansi Aceh. Ekspedisi Aceh yang terdiri beberapa ratus kapal dihancurkan. 19.000 prajuritnya hilang. Johor menegakkan kembali pengaruhnya di Semenanjung Malaya dan di selat Malaka bagian selatan. Sementara Sultan Iskandar Muda menjadi penguasa tertinggi atas pelabuhan-pelab
Pada akhir abad XVII Aceh mengalami kemunduran. Beberapa penyebabnya :
1. Karena keberhasilan sebelumnya, daerah perkotaaan berkembang dalam ukuran lebih besar daripada kemampuannya untuk menghidupi penduduknya (Lombard).
2. Kelompok elite Aceh (uleebalang atau hulu balang atau panglima perang) yang dikendalikan Sultan Iskandar Muda berusaha membatasi kekuasaan raja berikutnya (Ricklefs).
1. Karena keberhasilan sebelumnya, daerah perkotaaan berkembang dalam ukuran lebih besar daripada kemampuannya untuk menghidupi penduduknya (Lombard).
2. Kelompok elite Aceh (uleebalang atau hulu balang atau panglima perang) yang dikendalikan Sultan Iskandar Muda berusaha membatasi kekuasaan raja berikutnya (Ricklefs).
Iskandar Muda memerintahkan membunuh putranya sendiri dan menunjuk menantunya Iskandar Tsani yang merupakan putra Sultan Pahang sebagai penggantinya. Iskandar Tsani dikenal sebagai pengayom ulama orthodoks Nuruddin ar Raniri yang mendorong melaksanakan hukum syariat dan menghukum penganut Islam yang melakukan bid'ah. Setelah Iskandar Tsani wafat, Raniri diusir dari Aceh oleh orang-orang yang ingin membalas dendam atas hukum kejamnya.
Setelah ia meninggal para elite Aceh mengangkat janda Iskandar Tsani sebagai penggantinya bergelar Sultanah (Ratu) Taj ul Alam dan berdamai dengan Johor sehingga Johor menjadi makmur apalagi karena Portugis diusir oleh Johor dan VOC dari Malaka. Bahkan Raniri yang kembali dari India setelah beberapa tahun di sana, mengakui Aceh sangat makmur saat itu. Harga pangan sangat murah dan hidup dalam damai sejahtera. Tiga ratu selanjutnya menggantikan Taj al-Alam dan era sultanah berakhir tahun 1699 ketika mereka memperoleh surat dari Mekah yang mengecam pemimpin wanita.
(Selain di Pasai dan Aceh pada masa itu perempuan juga memimpin di Japara, Jambi, Sukadana dan Solor. Sementara Kesultanan Pathani di Siam dipimpin perempuan hampir lebih satu abad).
Para uleebalang berubah menjadi penguasa yang turun temurun di wilayah-wilayah
Kesultanan Aceh menghasilkan banyak sastrawan kenamaan. Hamzah Fansuri menulis puisi mistik (tasauf) yang menunjukkan pandangan pantheistik mistik Islam ekstrim yang diambil dari karya cendikiawan Arab abad pertengahan bernama Ibn Arabi yang menitikberatkan kehadiran Tuhan secara imanen dalam segala sesuatu termasuk perorangan, dan mencari kesatuan diri dengan jiwa tempat Tuhan bersemayam, berjudul Syarab al-'Asyiqin (Minuman Para Pencinta) dan Asrat al 'Arifin (Rahasia-rahasi a Para Gnostik). Ajaran mistik Hamzah diperluas Syamsuddin as Sumatrani. Sumatrani menulis beberapa karya yang menjelaskan sistem mistiknya berdasar tujuh tingkatan jiwa. Karyanya yang terakbar adalah Mir'at al Mu'minin (Cerminan Jiwa Insan Setia). Karyanya yang lain adalah Nur ad-Daqaiq (Cahaya Pada Kehalusan-kehal usan). Pandangan mistik Islam berakhir setelah datangnya penasihat sultan bernana Nuruddin ar Raniri yang orthodoks yang menyerang pandangan mistik dan menghukum para sufi. Buku-buku sufistik Hamzah dan Syamsuddin dibakar. Raniri menulis karyanya yang memuat norma norma kaum ortodoks, salah satunya adalah Bustan Al Salatin (Taman Raja-raja). Buku yang ditulis tahun 1638 merupakan ensiklopedi tujuh jilid berisi inti ajaran Islam seperti penciptaan, para nabi, raja-raja serta pahlawan termasuk berbagai ilmu pengetahuan. Sebuah salinan bertarikh 1862 yang didapat di Pontianak milik J. Hunt kini menjadi koleksi Royal Asiatic Society, London. Penulis lain, Abdurrauf dari Singkil diperintah Sultanah Taj al Alam Safiyat al Din menulis Mir'at al Tullab (Cermin Para Pelajar) sebuah tesis mengenai ilmu hukum. Abdurrauf juga menulis buku-buku tasauf yang mengobati keretakan sosial akibat pertikaian pengikut Nuruddin ar Raniri dan para penganut mistik sebelumnya (Ridell, 2002:64-65).
Selaim itu terbit pula sastra Islam impor seperti Hikayat Nur Muhammad (kisah mistik pencerahan Muhammad SAW) , Qisas al Anbiya (Kisah Para Nabi), Kisah Muhammad Hanafiah (kisah pertempuran militer Hasan dan Husein putra Khalifah Ali), Hikayat Amir Hamzah (kisah paman Nabi Hamza ibn al Mutalib), Hikayat Iskandar Dzulkarnain, dan Tarjuman al Mustafid (Al Quran dengan terjemahan Melayu berdasar tafsir Al Jalalayn).
Sejak tahun 1699 hingga 1838 Aceh dipimpin oleh sebelas orang sultan, tiga di antaranya adalah orang Arab, dua orang Melayu dan enam orang Bugis.
Komentar
Posting Komentar