Perniagaan Cina - Nusantara
Sebelum orang orang Portugis, Belanda dan Inggris datang ke Indonesia, hubungan maritim Indonesia-Cina telah terjadi bahkan jauh sebelum abad ke-13. Serangan angkatan laut Mongolia (yang saat itu menjadi penguasa Cina) pada tahun 1293 terhadap Jawa mengantarkan zaman baru : sebuah zaman yang ditandai oleh meningkatnya kepadatan perdagangan, kebudayaan dan hubungan militer antara Cina dan Indonesia.
Kitab Nagarakrtagama memberitahukan bahwa pedagang India, Kamboja, Cina, Dai Viet, Champa dan Siam berdatangan ke Jawa pada abad ke-14. Peningkatan kebutuhan barang mewah membuat Majapahit dipenuhi sutra dan porselen impor dari Cina yang didanai dari perlindungan usaha wewangian dan rempah.
Cerita Cina kuna mengabarkan adanya utusan Raja Timur dan Raja Barat dari Jawa seperti utusan dagang yang dikirim oleh Maharaja Palembang San-fo-qi dan oleh beberapa raja Samudra. Utusan dari Jawa dipimpin oleh orang bergelar Arya atau Patih. Mereka berdagang wewangian, rempah, kuda, dan hewan khas ke Cina; mengambil sutra, porselen dan besi ke Jawa dan Sumatra. Sementara utusan Cina yang dikirim ke Asia Tenggara membawa ragam porselen dan sutra yang termasyhur.
Kaisar Yongle dari dinasti Ming pada pada abad ke-15 memperluas pengaruh Cina ke luar antara lain dengan mengirim laksamana Islam terkenal Zheng He (Cheng Ho) ke Asia dan Timur Tengah.
Perjalanannya yang berlangsung tahun 1405-1433 membawa pasukan Cina dan pedagang ke bandar-bandar di Jawa juga ke Palembang, Melaka, Aru, Samudra dan Aceh terus ke Samudra Hindia.
Teks Cina abad ke-15: Ying-yai Sheng-Lan (Pemandangan Indah dari Pantai Samudra) mencatat tempat tempat yang menjadi persinggahan Cheng Ho : Palembang, di mana " kapal dari segala penjuru datang ke sini" mencari wewangian seperti kemenyan serta barang mewah seperti gading. Armada Cheng Ho juga singgah di Tuban, Gresik, Surabaya, Majapahit, "istana tempat kediaman raja." Dituliskan pula bahwa Jawa menyediakan kayu sappan, intan, baja dan kulit penyu.
Misi resmi diplomatik antara Cina dan raja raja di Indonesia berhenti sebelum tahun 1500 dan dilanjutkan oleh pedagang swasta dari pelabuhan Fujian dan Guangdong. Mereka berlayar ke Nusantara mengikuti angin musim, berdagang porselen, sutra dan besi untuk ditukar lada dan rempah rempah yang lain.
Pada akhir abad ke-15 terdapat lebih kurang 1.000 keluarga Cina di Tuban dan Gresik dan beberapa ribu di Palembang.
Menurut Geoffrey Wade dari Hong Kong, pada awal abad ke-15 pelabuhan utama Sumatra seperti Palembang dan Samudra mempunyai hubungan dengan Vietnam dan Ryuku (Okinawa). Utusan Majapahit mencapai Korea dan Jepang. Ekspor keramik Vietnam ke Indonesia meningkat. Keramik dinding mesjid Demak dan yang tergali di Trowulan berasal dari Vietnam.
Perdagangan Cina berlanjut setelah Majapahit digantikan penguasa Islam. Mereka berdagang di Demak, Japara, Gresik dan Cirebon.
Perubahan terjadi saat Malaka ditaklukkan Portugis dan penghapusan larangan dagang swasta Cina tahun 1567.
Dong-xi-yang Kao (Catatan Tentang Samudra Timur dan Barat) dari tahun 1618 mencatat : Banten menjadi bandar utama di Jawa. Palembang, Jambi dan Aceh paling menonjol di Sumatra. Sukadana, Banjarmasin dan Timor menjadi sumber impor Cina. Tercatat komoditas yang diekspor ke Cina sebagai berikut : kayu cendana, rempah-rempah, lidah buaya, cengkih, lada, cula badak, kulit banteng, intan, rotan dan kelapa.
Banten menarik pedagang dari Fujian dan Hokkien. Kemudian Banten masuk ke dalam lingkaran pengaruh yang meluas ke Ayutthaya, Manila, Cina dan Nagasaki.
Komentar
Posting Komentar