Maluku Jazirah Para Raja
Meski sudah termaktub dalam epos Majapahit, Nagarakrtagama, pengertian Maluku berkembang bersama waktu. Awalnya Maluku hanya dinisbahkan untuk lima pulau penghasil cengkih : Ternate, Tidore, Moti, Makian dan Bacan. Kemudian meliputi wilayah Indonesia Timur yang dikuasai kerajaan-keraja an pulau kecil ini, dan akhirnya meliputi pulau Butung di Sulawesi, kepala burung Papua dan kepulauan Aru-Kei.
Menjelang abad ke-16, Ternate dan Tidore bersaing untuk keunggulan wilayah. Hubungan mereka disebut sebagai dualisme oleh Leonard Andaya dari Departemen Sejarah Universitas Hawai (2002:92).Duali
Ternate dan Tidore yang bisa dianggap sebagai Maluku asli, melakukan pertukaran perkawinan, bersaing merebut dukungan orang Eropa, berselisih memperebutkan daerah rakyat dan perasaan penghinaan. Meski bermusuhan mereka tidak menginginkan kehancuran satu sama lain. Kehancuran salah satu dari mereka dipercaya oleh raja mereka sebagai pertanda akhir Maluku.
Setelah kekuasaan Bacan meredup , Ternate menjadi pusat alam semesta dan politik di Maluku utara, dan mendapat julukan Ternate Kolano Maluku, Ternate Penguasa Maluku. Dengan kedatangan agama Islam di abad ke-15 dan Portugis di abad ke-16 Ternate menjadi pusat utama perdagangan rempah kawasan.
Awalnya hubungan Ternate dengan Portugis berlangsung damai. Tapi nafsu Portugis memonopoli perdagangan rempah ditambah menghina para bangsawan dan ulama menimbulkan pertikaian dengan penguasa. Sultan Baabullah merebut benteng Portugis dan mengusir mereka dari pulau itu pada tahun 1575. Ternate kemudian meluaskan wilayah hingga Sulawesi dan Saparua. Portugis berusaha kembali merebut Ternate dengan bantuan Tidore namun tidak berhasil.
Pada tahun 1580 tahta Portugis dan Spanyol bergabung. Pusat Portugis dipindahkan dari Gowa ke Manila. Pada tahun 1606 Spanyol mengirim ekspedisi dari Manila menyerang Ternate, membawa raja serta putra mahkota dan para bangsawan sebagai tawanan ke Filipina. Ternate menjadi markas terjauh Spanyol hingga tahun 1663.
Belanda tiba di Ternate tahun 1599. Awalnya hubungan VOC-Ternate ramah karena berhadapan dengan Spanyol dan sekutunya, Tidore.
Meskipun demikian muncul persekutuan lokal untuk menentang kehadiran VOC utamanya dari kaum muslim Hitu dan pasukan Ternate yang ada di Hoamoal yang didukung kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Persekutuan itu dipimpin oleh Kakiali murid Sunan Giri di Jawa. Ia menggantikan ayahnya sebagai Kapiten Hitoe. Gerakan ini nampaknya juga didukung masyarakat yang beragama Kristen. Pihak Belanda mengupah seorang Spanyol yang membelot dari Kakiali untuk membunuh Kapitein Hitoe.
Benteng Kakiali dapat direbut. Pendukung Kakiali membuat pertahanan di Kapaha. Pada tahun 1646 Kapaha akhirnya bisa direbut VOC. Pemimpin Hitu, Telukabesi menyerah dan bersedia masuk agama Kristen. Meskipun demikian VOC tetap menghukumnya dengan hukuman mati di Ambon pada bulan September 1646. Meski begitu kedudukan VOC masih belum benar benar aman
Pada tahun 1650 Raja Ternate, Mandar Syah diturunkan dari tahta dalam suatu kudeta istana. Dia melarikan diri ke benteng VOC di Ternate dan meminta bantuan. De Vlaming, gubernur Ambon diutus mengatasi masalah itu dan para pengkudeta menyerah. Mandar Syah didudukkan kembali di atas singgasananya.
Seperti Portugis, Belanda mulai mencampuri masalah Ternate dengan berusaha memonopoli perdagangan rempah. Belanda melakukan kebijakan extirpatie (pemusnahan) rempah rempah pada tahun 1652 dengan memberi imbalan kepada penguasa dan pejabat istana.
Pada tahun 1662 Sultan Saifuddin dari Tidore meminta bantuan VOC untuk mengusir Spanyol. Saat itu berkembang rumor bahwa Zheng Chenggong, pendukung Ming di Taiwan mengancam markas utama Spanyol di Manila. Spanyol benar-benar pergi dari Maluku, dengan demikian VOC menjadi kekuatan Eropa paling utama di wilayah itu.
Dalam konteks dualisme, orang Maluku menyebut Saifudin dari Tidore sebagai Tossa dan Mandar Syah dari Ternate sebagai Rossa untuk menunjukkan bahwa mereka dari jantung domba yang sama.
Kristenisasi yang didukung VOC menyakitkan hati orang Ternate. Pada tahun 1679-1682 Sultan Amsterdam, anak dari Mandar Syah, memimpin rakyat Ternate memerangi Belanda namun dapat dikalahkan dan berdasarkan perjanjian tahun1683 Ternate menjadi bawahan (leen) VOC.
Sementara itu Tidore mengalami krisis berkepanjangan.
Pada tahun 1760-an pasukan Ilanun dari Mindanao Filipina menyerang Maluku. VOC mencurigai Tidore ikut terlibat. Pada tahun 1779 Sultan Tidore diturunkan (Ricklefs, 2005:141).
Pangeran Nuku tokoh mesianis (ratu adil) dari Tidore memerangi Belanda. Pada tahun 1781 ia mengumumkan menyandang gelar bangsawan Sri Maha Tuan Sultan Amir Muhammad Saifuddin Syah. Nuku mendapat dukungan rakyat termasuk rakyat Ternate. Ia menjelaskan bahwa kedamaian dan keselarasan Maluku diusik oleh kehancuran empat tonggak utama Maluku yaitu kerajaan-keraja
Nuku diakui sebagai Sultan pada usia 66 tahun. Ia menyediakan rempah rempah untuk Inggris dengan imbalan 6.000 dolar Spanyol setiap tahun. Namun masa pendudukan Inggris hanya sementara. Sebagai konsekuensi dari Perdamaian Amiens tahun 1802, Inggris mengembalikan Maluku kepada Belanda.
Awal mula keterlibatan Inggris di Maluku terkait ditemukannya rute pelayaran superior menuju Cina oleh EIC ( Inggris) melalui Selat Dampier (Selat Pitt) yang melintasi Kepala Burung (Papua). Selain pada tahun 1895 Raja William V dari Belanda -sewaktu melarikan diri dari tentara Napoleon - memerintahkan kepada gubernur Belanda di wilayah pendudukannya untuk menyerahkan wilayah-wilayah itu kepada Inggris. Atas dasar otoritas itu maka Inggris mengambil Ambon dan Banda pada tahun 1796.
Permusuhan Nuku dan Belanda pun terjadi lagi.
Ternate bangkit dan memperoleh kedudukan di Maluku dengan kembalinya Belanda pada tahun 1802 dan kematian Nuku pada tahun 1805.
Ternate bangkit dan memperoleh kedudukan di Maluku dengan kembalinya Belanda pada tahun 1802 dan kematian Nuku pada tahun 1805.
Komentar
Posting Komentar