Gowa dan Bone
Di Sulawesi Selatan terdapat beberapa negara kecil yang terbagi antara dua suku bangsa serumpun yaitu Makasar dan Bugis. Mereka terkenal karena reputasi mereka sebagai prajurit prajurit profesional dan paling ditakuti di Nusantara. Mereka menerjemahkan karangan berbahasa Spanyol dan Portugis mengenai pembuatan dan penggunaan meriam ke dalam bahasa mereka. Wilayah ini merupakan sumber produk perdagangan khususnya emas, rempah-rempah, beras dan budak. Para budak merupakan tawanan perang yang dijual oleh para bangsawan. Mereka menjual budaknya ke seluruh kepulauan Indonesia dan sekitarnya .
Sekitar tahun 1500 - kerajaaan Bugis- Luwu kalah telak dari Bone. Sekitar tahun 1530 - kerajaan Makasar - Gowa memperluas wilayahnya. Tahun 1540 orang Portugis datang melakukan Kristenisasi dan ikut berdagang rempah rempah dan budak. Meski begitu ini tidak menghalangi dianutnya agama Islam oleh para penguasa Sulawesi Selatan. Tahun 1605 Raja Gowa memeluk Islam. Ajakannya kepada orang orang Bugis dari Bone untuk memeluk Islam ditolak. Gowa melancarkan serangan pad tahun 1608-1611 dan Islam pun menyebar di seluruh wilayah Bugis-Makasar.
Gowa menjadi negara paling menonjol. Gowa dianugrahi serangkaian pemimpin yang cakap dan memiliki sistem wewenang ganda yang timbul akibat aliansi politik antara Kesultanan Gowa dan Tallo. Sultan berasal dari Gowa dan Perdana Mentri dari Tallo. Kekaisaran nya didasarkan pada keunggulan militernya.
Gowa juga menunjukkan kecanggihan dan gaya internasional yang mengagumkan pengamat Eropa. Seorang pastor Jesuit Perancis menyebutkan bahwa salah satu penguasa Makasar, PM Karaeng Pattingaloang memiliki keingintahuan sangat besar sehingga ia membaca sejarah raja-raja Eropa, "memiliki buku-buku yang kita kuasai, terutama yang menyangkut matematika" dan "sangat menggemari seluruh cabang pengetahuan ini yang ditekuninya siang dan malam" (Andaya :2002).
Meski begitu tidak berarti bahwa Bone sebagai saingannya berdiam diri.
Meski begitu tidak berarti bahwa Bone sebagai saingannya berdiam diri.
Pada tahun 1609 VOC mendirikan kantor dagangnya namun Gowa menjadi penghalang rencana-rencana nya. Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna bekerja sama dengan pedagang-pedaga ng Inggris, Perancis, Denmark, Spanyol, Portugis dan Asia mencegah tercapainya usaha VOC untuk monopoli rempah-rempah. VOC berkesimpulan harus ada upaya keras untuk menghentikan "komplotan penyelundup" ini dan mengakhiri bantuan dan dukungan Gowa kepada musuh-musuh VOC di Maluku. Maka pada tahun 1615 berkobarlah peperangan antara Gowa dan VOC diikuti perjanjian perdamaian yang ditandatangani tahun 1637, 1656 dan 1660.
VOC bersekutu dengan kerajaan Bugis, Bone untuk melawan musuh bersama mereka yaitu kerajaan Makasar, Gowa. Itu dilakukan dengan menjalin persekutuan dengan seorang pangeran Bugis bernama La Tenrittata to Unru yang lebih dikenal dengan sebutan Arung Palakka, salah seorang prajurit Indonesia paling terkenal di abad XVII. Arung Palaka adalah satu dari 10.000 orang Bugis dari Bone yang memberontak tapi berhasil ditumpas pihak Gowa. Lalu ia bersama yang lain mencari perlindungan di Pulau Butung. VOC mengabulkan permohonannya untuk tinggal di Batavia di mana ia menjadi serdadu VOC yang membuat pihak Belanda terkesan pada ketrampilan perangnya. Arung Palaka dan prajurit-prajur it Bugisnya kini menjadi satu bagian penting dari rencana VOC menaklukkan Gowa.
Sakit hati karena harus tunduk pada orang Makasar, orang Bugis membantu VOC menyerang Gowa dan menundukkannya. Pada tahun 1660 sebuah armada VOC yang terdiri atas 31 kapal menyerang Makasar menghancurkan kapal-kapal Portugis yang ada di pelabuhan. Kesepakatan damai tidak mengakhiri permusuhan apalagi ada Arung Palaka di antara pasukan VOC.
Setelah peristiwa terdamparnya kapal VOC yang dirampok dan dibunuhnya tim penyelidik, Gubernur Jendral Maetsuycker mengambil keputusan menghadapi Gowa. Pada tahun 1667 dikirim sebuah ekspedisi yang terdiri 21 kapal yang mengangkut tentara berkebangsaan Eropa, serdadu Ambon dan Arung Palaka beserta pasukan Bugisnya. Ekspedisi dipimpin oleh Cornelis Speelman. Ekspedisi ini disambut rakyat Bugis di Bone dan Soppeng. Speelman berhasil menghancurkan armada Gowa di dekat Butung sementara Arung Palaka memimpin serangan melalui darat.
Sultan Hasanuddin dan pasukannya dari Gowa melawan dengan gigih tapi akhirnya bisa dikalahkan koalisi VOC-Bone dan dipaksa menandatangani perjanjian menyerah di Bungaya, 18 November 1667. Meski begitu Sultan Hasanuddin mengobarkan kembali pertempuran dan pada tahun 1668-1669 Gowa diserang secara besar-besaran. Sultan Hasanuddin dan kaum bangsawan kalah telak.
Kini perjanjian Bungaya benar benar dilaksanakan. Bone dan negara Bugis lainnya terbebas dari belenggu kekuasaan Gowa. Benteng pihak Gowa di Makasar diserahkan kepada VOC dan oleh Speelman diubah namanya menjadi benteng Roterdam. Seperti diketahui
Gowa membangun tiga benteng utama di kota Bandar Makasar. Salah satunya adalah benteng Sombaopu yang merupakan kediaman keluarga raja dan para hamba. Benteng itu tergambar dengan jelas pada buku "Oud en nieuws Oost Indien" karya Valentyn yang diterbitkan Dordrecht (1724-1726). Sampai kini benteng Sombaopu masih berdiri dengan megah di kota Makasar.
Kini perjanjian Bungaya benar benar dilaksanakan. Bone dan negara Bugis lainnya terbebas dari belenggu kekuasaan Gowa. Benteng pihak Gowa di Makasar diserahkan kepada VOC dan oleh Speelman diubah namanya menjadi benteng Roterdam. Seperti diketahui
Gowa membangun tiga benteng utama di kota Bandar Makasar. Salah satunya adalah benteng Sombaopu yang merupakan kediaman keluarga raja dan para hamba. Benteng itu tergambar dengan jelas pada buku "Oud en nieuws Oost Indien" karya Valentyn yang diterbitkan Dordrecht (1724-1726). Sampai kini benteng Sombaopu masih berdiri dengan megah di kota Makasar.
Setelah keruntuhan Gowa, Bone menjadi negara paling kuat di Sulawesi Selatan. Minahasa, Butung dan Sumbawa terlepas. Pedagang selain VOC diusir. VOC menancapkan kekuasaannya di Menado , Gorontalo, Limboto hinggga Pulau Talaud dan Sangihe. Di Menado Belanda membangun benteng untuk menghadapi Spanyol dan Ternate.
Arung Palaka diberi penghargaan oleh VOC sebagai panglima tertinggi Bone dan pada tahun 1672 menjadi arumpone (arung Bone, raja Bone). Ia kemudian menjadi orang terkuat di Sulawesi Selatan sampai wafatnya pada tahun 1696. Dia mengabaikan pemerintahan konsultatif berdasarkan musyawarah mufakat dan mengandalkan ketrampilan perang pengikut-pengik
Komentar
Posting Komentar