Sultan Agung Hanyakrakusuma


Raden Mas Rangsang naik takhta menggantikan Panembahan Krapyak. Ia memerintah dari tahun 1613 sampai 1645 dengan gelar Sultan Agung Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin Panatagama. Pada tahun 1614 ia menyerang Kediri, Pasuruan, Lumajang, Malang dan Surabaya sebagai tujuan akhir. Pangeran Pekik dari Surabaya mengerahkan para penguasa pesisiran seperti Ranggalelanan, Kapulungan (Pasuruan), Dipati Pasagi, Patih Jayasaputra ( Tuban) dan Martanegara (Sedayu). Mataram dipukul mundur. Mataram kemudian memusatkan diri di Wirasaba sambil menyiapkan serangan balasan.

Dalam pertempuran di Siwalan pada tahun 1616 Mataram dibantu Pajang menghadang dan mengalahkan Sekutu (Surabaya, Pasuruan, Tuban, Jepara, Wirasaba, Arosbaya dan Sumenep). Laju Mataram tak terbendung. Lasem Tuban Pasuruan digempur. Sukadana (di Kalimantan) dan Madura diserang. Sungai Brantas dibendung dan dibelokkan alirannya. Pada tahun 1625 Surabaya menyerah pada Mataram. Pangeran Pekik dan anaknya Ki Sanjaya dibawa ke Mataram. Pangeran Pekik dinikahkan dengan adik Sultan Agung Ratu Pandan Sari. Ki Sanjaya dihukum mati. Surabaya diserahkan kepada Tumenggung Sepanjang. Pasukan Mataram yang beroperasi di Madura mencapai 80.000 orang. Dinasti Mataram-Surabaya dibentuk saat itu. Anak Sultan Agung dikawinkan dengan anak Pangeran Pekik yang sekarang harus tinggal di istana Mataram (Masyhuri, Ricklefs).

Pada tahun 1628 Mataram menyerang Batavia melalui laut di bawah pimpinan Tumenggung Bahureksa. Sebagian besar perahu besar Mataram hancur dan Bahureksa gugur. Upaya menguasai benteng VOC dan membendung Ciliwung gagal. Jan Pieterszoon Coon meninggal dalam benteng karena sakit. Pasukan Mataram ditarik mundur.Belanda menemukan sekitar 700 jenazah orang Mataram. Di antaranya adalah para panglima Mataram yang dibunuh oleh pasukannya karena kalah perang.
Intelejen VOC mencium rencana serangan Mataram yang kedua. Kemudian VOC mengirim ekspedisi ke Tegal untuk menghancurkan 200 kapal, rumah dan tumpukan besar padi milik Mataram.

Pada bulan Mei dan Juni 1629 angkatan perang Mataram berangkat menyerbu Batavia dipimpin oleh Juminah, Purbaya dan Puger. Pada bulan Agustus mereka mengepung Batavia. Pertempuran berhenti pada bulan September. Pasukan Mataram menderita kelaparan dan akhirnya ditarik mundur.

Kegagalan menguasai Batavia mematahkan mitos bahwa Sultan Agung tidak bisa dikalahkan. Banyak prajurit Mataram tidak kembali pulang karena malu dan merasa bersalah. Mereka kemudian tinggal di sepanjang pantai utara bahkan ke pedalaman Jawa Barat. Di kompleks Candi Cangkuang, Garut, jejak prajurit Mataram bisa ditelusuri. Mereka tinggal di Kampung Pulo di sekitar candi sambil mengajarkan agama Islam.

Setelah upaya menguasai Batavia yang gagal Mataram kemudian memadamkan pemberontakan di Ukur dan Sumedang di Jawa Barat (1631-1636) dan Tembayat di Jawa Tengah (1630). Pemberontakan di Tembayat nampaknya dilakukan oleh para ulama dan santri pengikut Sunan Bayat dan mereka bisa ditaklukkan.

Pada tahun 1633 Sultan Agung melakukan ziarah ke situs keramat Tembayat sebagai upaya spiritual. Sultan membuat gerbang makam Sultan Bayat dan prasasti. Upaya itu juga menjadi titik balik Islamisasi di Jawa. Nampaknya kini Mataram hendak berada di pusat Islamisasi dengan menerbitkan buku buku Islami seperti terjemahan Serat Yusuf versi kraton, Kitab Usulbiyah dan Carita Sultan Iskandar (didasarkan pada kisah Dzulkarnain dalam Surat Al Kahfi). Sultan Agung juga mengganti sistem penanggalan Jawa (Saka) dengan penanggalan lunar campuran Jawa-Islam (Anno Javanica).
Kemudian Mataram menyerang Blambangan pada tahun 1639 dan Blambangan bisa dikuasai. Laskar Bali yang membantu Blambangan bisa dipukul mundur. Sebelumnya Mataram harus menaklukkan Giri sebagai pusat perlawanan yang memiliki legitimasi keagamaan. Mataram meminta bantuan Pangeran Pekik yang memiliki hubungan dengan Sunan Ampel-Denta dan lebih senior dari Sunan Giri. Giri menyerah dan menjadi vasal Mataram.

Menjelang akhir kekuasaannya Sultan Agung menguasai sebagian besar Jawa, Madura, Sukadana dan Palembang. Banjarmasin menjadi sekutunya. Makasar menjadi negara sahabat dengan tukar menukar duta. Mataram menjadi bayang-bayang Majapahit. Namun meski angkatan laut Mataram mengancam, VOC menjadi yang terkuat di Kepulauan Indonesia. Ekspor beras terganggu karena rusaknya pantai utara Jawa oleh peperangan. Ditambah oleh kenyataan bahwa Sultan Agung memandang rendah perdagangan dan kaum pedagang.

Sultan Agung mengutus duta ke Mekah yang kembali pada tahun 1640 dengan wewenang memberikan gelar baru kepadanya : Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani. Setelah itu Sultan Agung menikmati kedamaian di akhir pemerintahannya.

Dikisahkan dalam sebuah kronik sejarah bahwa dua tahun menjelang wafatnya Ratu Kidul datang dan meramalkan kematiannya. Pada tahun 1645 Sultan membangun situs pemakaman baru di sebuah bukit Imogiri sekitar 5 km dari istananya di Kota Gede. Pada bulan April tahun 1646 Sultan Agung wafat dengan predikat manusia suci menurut tradisi Jawa. Ia menjadi model raja agung sekaligus penguasa yang saleh (satria pinandita) . Pintu-pintu gerbang menuju keraton ditutup untuk mencegah terjadinya kudeta. Putra Sultan Agung dinyatakan sebaga penggantinya dengan gelar Susuhunan Amangkurat I.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan