Akhir Perbudakan
Akhir Perbudakan.
Raffles telah mengekang perbudakan sejak ia menjadi Letnan Gubernur di Bengkulu pada tahun1818-1323 (Reid). Belanda secara ragu-ragu menghapus perdagangan budak melalui sederet tindakan pada tahun 1818 dan 1860 mengikuti kampanye anti-budak Harvel yang menggerakkan pendapat umum di Nederland. Meski begitu perbudakan tetap berjalan sampai abad ke-20.
Raffles telah mengekang perbudakan sejak ia menjadi Letnan Gubernur di Bengkulu pada tahun1818-1323 (Reid). Belanda secara ragu-ragu menghapus perdagangan budak melalui sederet tindakan pada tahun 1818 dan 1860 mengikuti kampanye anti-budak Harvel yang menggerakkan pendapat umum di Nederland. Meski begitu perbudakan tetap berjalan sampai abad ke-20.
Heather Sutherland dari Vrije Universiteit, Amsterdam (2002:95) mengatakan bahwa budak mewakili golongan sosial terendah di banyak masyarakat Indonesia. Dalam beberapa kasus budak sebagai pembayar upeti untuk penguasa, hidup sendiri dengan keluarga dan kebun, yang lain setengah kelaparan, buruh yang teraniaya atau diikat untuk mata dagangan.
Lebih lanjut Sutherland mengatakan bahwa : pertama, budak digunakan sebagai tenaga, perintis pertanian, istri dan ibu, untuk membuat pemukiman baru, untuk menghasilkan pendatang seperti Eropa Cina dan Arab. Kedua, ada budak dalam dan budak luar. Budak dalam tinggal di rumah majikan dan menyatu dalam keluarga majikan. Budak wanita yang melahirkan anak tuannya dapat mencapai kedudukan baik. Pria Belanda sering membebaskan budak yang menjadi ibu anaknya dan pengakuan si ayah akan memberi kedudukan sah sebagai orang Eropa.
Budak luar mengurus diri sendiri di luar. Meski lebih bebas tapi sering diperas habis-habisan.
Yang lebih buruk dari budak luar adalah budak belian.
Budak luar mengurus diri sendiri di luar. Meski lebih bebas tapi sering diperas habis-habisan.
Yang lebih buruk dari budak luar adalah budak belian.
Budak dapat menjadi sumber ekonomi : mempertahankan hidup sambil menghasilkan keuntungan bagi majikannya; terlibat dalam perdagangan; atau menjadi kafilah dagang yang melakukan perjalanan jauh dengan dana dari majikannya, kadang-kadang sendiri; yang lain ada yang menjadi tenaga kerja di kebun lada di Banjarmasin, pabrik tenun di Bali dan Selayar, atau di kebun kopi, memetik cengkih dari pohon di Maluku.
Budak juga sebagai tanda status sosial seorang bangsawan atau pejabat VOC. Mereka menjadi pemusik atau selir yang hidup nyaman dibanding orang bebas sekalipun.
Budak bisa diambil dari pedalaman maupun pesisir. Pada abad ke-15 dan 16, Jawa yang hancur karena perang menjadi pemasok budak untuk Melaka, Siam, Pasai dan Brunei. Awal abad ke-17 Belanda mengambil budak dari India. Pada akhir abad ke-17 perdagangan budak ditangani orang Bugis, Melayu dan mestizo dengan Makassar sebagai titik pengiriman terbesar ke Batavia sampai 3000 orang pertahun. Pada abad ke-18 bajak laut Sulu yang ditakuti merampas ribuan budak dalam serangan mereka.
Sebuah peta pola perdagangan budak Hindia Belanda menggambarkan budak dibawa dari Tanimbar, Alor, Manggarai, Buton, Berau bahkan Mindanao di Filipina. Dari Makassar budak diekspor ke Banjarmasin, Sukadana, Semarang, Batavia, Palembang, Jambi, Aceh dan Johor di semenanjung Malaya.
Budak juga sebagai tanda status sosial seorang bangsawan atau pejabat VOC. Mereka menjadi pemusik atau selir yang hidup nyaman dibanding orang bebas sekalipun.
Budak bisa diambil dari pedalaman maupun pesisir. Pada abad ke-15 dan 16, Jawa yang hancur karena perang menjadi pemasok budak untuk Melaka, Siam, Pasai dan Brunei. Awal abad ke-17 Belanda mengambil budak dari India. Pada akhir abad ke-17 perdagangan budak ditangani orang Bugis, Melayu dan mestizo dengan Makassar sebagai titik pengiriman terbesar ke Batavia sampai 3000 orang pertahun. Pada abad ke-18 bajak laut Sulu yang ditakuti merampas ribuan budak dalam serangan mereka.
Sebuah peta pola perdagangan budak Hindia Belanda menggambarkan budak dibawa dari Tanimbar, Alor, Manggarai, Buton, Berau bahkan Mindanao di Filipina. Dari Makassar budak diekspor ke Banjarmasin, Sukadana, Semarang, Batavia, Palembang, Jambi, Aceh dan Johor di semenanjung Malaya.
Budak diambil dari penduduk setempat karena hutang - perlu uang untuk dagang, upacara, judi atau sebagai hukuman.
Jacob Bikker Backer orang Belanda yang menjadi pedagang budak pada abad ke-18 di Makassar, membeli dagangan dari pedagang setempat, menahan mereka di ruang bawah tanah dan merantainya sampai mendapat jumlah yang cukup. Ia memperhitungkan kematian sekitar 10%. Budak belian tidak dianggap sebagai manusia.
Foto yang dibuat pedagang keliling Sarasin bersaudara pada tahun 1895 menggambarkan dua budak Toraja diikat dan dibawa ke pasar. Ada pula foto tahun 1865 menggambarkan seorang budak dari Lombok dengan harta miliknya : dua buah keranjang dan topi dari anyaman bambu serta sebuah sapu lidi.
Beberapa lukisan melukiskan perbudakan saat itu : dua orang budak perempuan bekerja di rumah tangga Belanda kaya; pelelangan budak di Batavia; seorang budak Batak Toba di Asahan tertangkap saat melarikan diri kemudian dipasung sebelum dijual kembali ; lukisan "Orang Kaya" Banda yang diikuti budak yang membawakan senjatanya, diterbitkan de Bry ; lukisan Belanda abad ke-19 oleh Hardouin tentang budak wanita sedang mandi dalam Ritter's Jawa (1855); dan lukisan romantik citraan pelukis Eropa mengenai pedagang budak menjual budak di Timor pada buku Voyages et Naufrages Celebres (Paris).
Daftar yang dimiliki Aru Teko tahun 1701 menggambarkan ia memiliki 800 budak. Separuh dari budaknya adalah orang bebas yang kemudian menjadi budak belian karena utang dan bekerja untuk Aru. Sisanya adalah orang yang diculik dari Sumbawa. Aru menggunakan budaknya untuk berbagai hal : menjadi nelayan atau bekerja di rumahnya di Ujung Tanah dekat Makassar sebagai pengawal bersenjata. Ia pun memiliki kelompok budak di berbagai tempat yang berasal dari upeti ataupun hadiah dari raja atas jasanya.
Hikayat Abdullah melukiskan kedatangan pedagang budak Singapura tahun 1823. Seorang Bugis memiliki sekitar 300 budak untuk dijual meliputi perempuan dewasa dan gadis belia yang dibeli oleh orang Cina India dan Melayu untuk diperistri. Mereka berasal dari Bugis, Bali, Mandar, Manggarai dan juga Melanesia Timur. Pedagang Melayu dari Siak membawa muatan dari Minangkabau dan Pekanbaru di Semenanjung Malaya. Abdullah terkejut melihat pemukulan, kekotoran dan perilaku asusila dalam perdagangan ini. Sakit hatinya disampaikan pada Raffles yang pada masa pemerintahannya di Hindia Belanda (1811-1816) meletakkan dasar gerakan penghapusan perbudakan.
Foto yang dibuat pedagang keliling Sarasin bersaudara pada tahun 1895 menggambarkan dua budak Toraja diikat dan dibawa ke pasar. Ada pula foto tahun 1865 menggambarkan seorang budak dari Lombok dengan harta miliknya : dua buah keranjang dan topi dari anyaman bambu serta sebuah sapu lidi.
Beberapa lukisan melukiskan perbudakan saat itu : dua orang budak perempuan bekerja di rumah tangga Belanda kaya; pelelangan budak di Batavia; seorang budak Batak Toba di Asahan tertangkap saat melarikan diri kemudian dipasung sebelum dijual kembali ; lukisan "Orang Kaya" Banda yang diikuti budak yang membawakan senjatanya, diterbitkan de Bry ; lukisan Belanda abad ke-19 oleh Hardouin tentang budak wanita sedang mandi dalam Ritter's Jawa (1855); dan lukisan romantik citraan pelukis Eropa mengenai pedagang budak menjual budak di Timor pada buku Voyages et Naufrages Celebres (Paris).
Daftar yang dimiliki Aru Teko tahun 1701 menggambarkan ia memiliki 800 budak. Separuh dari budaknya adalah orang bebas yang kemudian menjadi budak belian karena utang dan bekerja untuk Aru. Sisanya adalah orang yang diculik dari Sumbawa. Aru menggunakan budaknya untuk berbagai hal : menjadi nelayan atau bekerja di rumahnya di Ujung Tanah dekat Makassar sebagai pengawal bersenjata. Ia pun memiliki kelompok budak di berbagai tempat yang berasal dari upeti ataupun hadiah dari raja atas jasanya.
Hikayat Abdullah melukiskan kedatangan pedagang budak Singapura tahun 1823. Seorang Bugis memiliki sekitar 300 budak untuk dijual meliputi perempuan dewasa dan gadis belia yang dibeli oleh orang Cina India dan Melayu untuk diperistri. Mereka berasal dari Bugis, Bali, Mandar, Manggarai dan juga Melanesia Timur. Pedagang Melayu dari Siak membawa muatan dari Minangkabau dan Pekanbaru di Semenanjung Malaya. Abdullah terkejut melihat pemukulan, kekotoran dan perilaku asusila dalam perdagangan ini. Sakit hatinya disampaikan pada Raffles yang pada masa pemerintahannya
Komentar
Posting Komentar