Masuknya Sistem Ekonomi Liberal

Beberapa peneliti dan penulis asing hanya sepintas lalu membicarakan zaman liberal ini. Di antara yang membahas agak panjang adalah Ricklefs dan Rao. Ricklefs menulis soal ini di Bagian IV bertajuk Munculnya Konsepsi Indonesia 1900-42, pada Bab 14 berjudul Zaman Penjajahan Baru, tidak menempatkan pada bab tersendiri. Dia menulis begini :
"Selama zaman 'liberal' (+\- 1870-1900), kapitalisme swasta memainkan pengaruh yang sangat menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Industri Belanda mulai melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial yang standar hidupnya perlu ditingkatkan. Modal Belanda maupun internasional mencari peluang-peluang baru bagi investasi dan eksploitasi bahan-bahan mentah, khususnya di darah luar Jawa. Kebutuhan akan tenaga kerja Indonesia dalam perusahaan-perusahaan modern pun terasa. Oleh karena itu, kepentingan-kepentingan bisnis mendukung keterlibatan yang semakin intensif dari penjajah dalam rangka mencapai ketentraman, keadilan, modernitas dan kesejahteraan. Para pejuang kemanusiaan membenarkan apa yang oleh kalangan pengusaha diperkirakan akan menguntungkan itu, dan lahirlah politik Etis tadi."
Jelas Ricklefs menempatakan zaman liberal ini sebagai conditio sine quanon dari munculnya Politik Etis.
Sementara Rao menulis dalam History of Asia bahwa dengan Konstitusi 1848 Belanda menjadi liberal. Partai Liberal berkuasa tahun 1863 dan melanjutkan reformasi. Menteri Koloni, Van de Putte menghapus tanam paksa dan mendorong privatisasi. Banyak pengusaha Eropa memproduksi dan memasarkan tanaman komersial. Mereka juga menanam modal di luar Jawa untuk karet, tembakau, minyak dan pertambangan. Mereka diizinkan menyewa tanah dan mengimpor modal dan buruh. Perusahaan besar meraup untung besar tapi pelit untuk memberi kesejahteraan bagi buruhnya. Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu memperbaiki keadaan ini (2005:221).
Sedangkan Knight hanya mengatakan bahwa pada pertengahan abad ke-19 ada sistem tanam paksa. Sementara Reid menulis bahwa pada tahun 1870 ada UU Agraria yang menjadi kemunduran cultuurstelsel.
Dari Indonesia, Masyhuri menulis lebih dari satu halaman perihal Jaman Liberal ini pada ENI Vol. 9. Dia juga menulis mengenai Politik Liberal pada volume yang sama.
Dalam historiografi Indonesia, periodisasi tahun 1870 sampai 1900 sebagai zaman liberal berdasarkan visi Neerlando-sentris atau Eropa sentris. Visi Neerlando-sentris mengalami keruntuhan sejak berkembangnya penulisan sejarah dengan visi Indonesia-sentris dimulai oleh J.C. van Leur (1940) dan studi sejarah Indonesia kritis (1950).
Menurut Masyhuri, zaman liberal ditandai oleh berkembangnya usaha dan modal swasta dari negeri Belanda dan negara-negara Eropa lainnya pada sektor perkebunan kopi, teh, tebu, kina dan tembakau. Dengan UUD Agraria tahun 1870 terbukalah peluang bagi orang asing untuk menyewa tanah dari penduduk pribumi untuk usaha perkebunan terutama di Jawa dan Sumatra.
Sejalan pandangan Rao, pelaksanaan sistem liberal tidak lepas dari perkembangan politik dalam negri Belanda pertengahan abad ke-19. Pendukung liberalisme berpikir bahwa pemerintah tidak perlu campur tangan dalam ekonomi. Pada tahun 1850 golongan liberal menang. Kaum liberal berpandangan sama dengan penguasa sebelumnya bahwa daerah jajahan tetap harus menghasilkan keuntungan bagi negri induk (wingewest). Mereka menghendaki agar saldo surplus (batig slot) ditransfer ke negeri Belanda. Bedanya, pendukung sistem tanam paksa melihat Hindia Belanda sebagai suatu perusahaan Belanda sedang kaum liberal menganggap Hindia Belanda sebagai perusahaan swasta.
Penanaman modal swasta di Hindia Belanda meningkat dengan cepat. Ekspor pun meningkat. Sebagai contoh, produksi gula dari 2.440.000 pikul pada tahun 1870 menjadi 12.050.544 pikul pada tahun 1900.
Perkembangan usaha swasta tidak hanya terjadi pada sektor industri perkebunan tetapi juga di bidang pertambangan dan impor barang jadi yang dihasilkan di Belanda. Perdagangan internasional makin ramai antara Hindia Belanda dan negara-negara lain. Perkembangan perdagangan ini juga mendorong perkembangan perdagangan perantara untuk distribusi maupun perantara untuk koleksi. Uang makin menerobos jauh ke dalam kehidupan rakyat.
Sekalipun keuntungan mengalir ke negri Belanda namun peningkatan kehidupan ekonomi penduduk pribumi tidaklah seperti yang diharapkan. Pribumi sebagai warga negara kelas tiga dan kekurangan modal serta kecakapan menjadi hambatan besar.
Pada tahun 1855 terjadi krisis perkebunan akibat jatuhnya harga berbagai produksi perkebunan di pasaran dunia. Sistem ekonomi liberal dianggap gagal meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi dan gagal mempertahankan tingkat kehidupan ekonomi yang ada. Pendapatan penduduk juga terpenguruh baik berupa upah maupun sewa tanah. Pada masa tanam paksa penduduk Jawa memperoleh sewa tanah f 42,48 untuk setahun sementara pada tahun 1900 pendapatan itu turun menjadi f 25. Sistem pajak regresif sangat memberatkan golongan berpendapatan rendah. Selain itu penduduk Jawa harus menanggung beban finansial daerah lain di luar Jawa. Kehidupan ekonomi penduduk pribumi pada akhir abad ke-19 menjadi parah.
Pemerintah Belanda membentuk panitia yang dikenal dengan Mindere Welvaarts Commissie untuk meneliti sebab-sebab terjadinya kemelaratan yang melanda Jawa. Hasil komisi ini adalah laporan yang menyatakan bahwa pendapatan penduduk Jawa setahun hanya f 80 setahun. Untuk membayar pajak kepada pemerintah sebesar f 16. Kritik pada sistem ekonomi liberal makin keras sehingga mendorong lahirnya kebijakan baru yang disebut sebagai Politik Etis.
Sejak saat itu asas-asas liberalisme murni yang menjunjung tinggi usaha swasta dan persaingan bebas lambat laun ditinggalkan dan diganti dengan suatu tata ekonomi yang lebih terpimpin. Kehidupan ekonomi di Hindia Belanda mulai dikendalikan oleh kepentingan industrial dan finansial di negri Belanda daripada oleh pemimpin-pemimpin atau pemilik-pemilik perkebunan besar yang berkedudukan di Hindia Belanda. Perkebunan-perkebunan besar tidak lagi dapat dijalankan sebagai usaha dan milik perorangan tetapi direorganisasi sebagai perseroan terbatas raksasa yang bermarkas di Belanda atau negara Eropa lainnya. Merkantilisme negara berubah ke merkantilisme perusahaan besar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan