Pendekatan Elite Dalam Bidang Pendidikan


1. Pendekatan Elite.
Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon Direktur Pendidikan Etis yang pertama (1900-1905) menginginkan pendidikan yang bergaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai pengantar bagi kaum elite Indonesia yang dipengaruhi Barat. Mereka dapat mengambil alih banyak pekerjaan yang ditangani para pegawai pemerintah yang berkebangsaan Belanda. Ini akan menciptakan suatu elite yang tahu berterima kasih dan bersedia bekerjasama, memperkecil anggaran belanja pemerintah, mengendalikan fanatisme Islam dan akhirnya menciptakan suatu keteladanan yang akan menjiwai masyarakat golongan bawah Indonesia. Pendekatan elitis diharapkan diharapkan menghasilkan pimpinan bagi zaman pencerahan baru Belanda-Indonesia.
Pada tahun 1900, tiga hoofdenschoolen (sekolah para kepala) yang lama di Bandung, Magelang dan Probolinggo disusun kembali menjadi sekolah untuk menghasilkan pegawai pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA (Opleidingscholen Voor Inlandsche Ambtenaren, Sekolah Pelatihan Untuk Para Pejabat Pribumi ). Masa pendidikannya kini berlangsung selama lima tahun dengan pengantar bahasa Belanda dan terbuka bagi semua orang Indonesia yang telah menyelesaikan sekolah rendah Eropa. Calon-calon muridnya tidak lagi harus berasal dari kalangan elite bangsawan. Pada tahun 1927 masa pendidikannya dikurangi menjadi tiga tahun.
Pada tahun 1900-1902 Sekolah Dokter Jawa di Weltevreden diganti menjadi STOVIA (School Toot Opleiding Van Inlandsche Artsen, Sekolah Untuk Pelatihan Dokter-dokter Pribumi ). Mata pelajarannya juga diberikan dalam bahasa Belanda.
Sejak tahun 1891, sekolah-sekolah rendah Eropa, yang merupakan prasyarat wajib untuk dapat memasuki OSVIA dan STOVIS terbuka untuk orang-orang Indonesia. Faktanya hanya orang-orang kayalah yang mampu membayar iuran sekolahnya. Abendanon memperluas kesempatan bagi rakyat Indonesia yang bukan bangsawan untuk memasukinya dan menghapuskan iuran sekolah bagi para orang tua yang penghasilannya di bawah 50 gulden per tahun.
Abendanon mendapat tentangan dari berbagai kalangan termasuk dari para bupati yang konservatif. Abendanon ingin memperluas kesempatan pendidikan bagi kaum wanita Jawa kalangan atas. Cita-cita yang sama dengan yang dimiliki Raden Ajeng Kartini (1879-1904) putri Raden Mas Adipati Arya Sasraningrat dari Jepara. Sasraningrat adalah satu di antara bupati yang paling maju.
Cita-cita Abendanon dan Kartini tidak pernah mendapat prioritas pemerintah karena konservatisme para bupati dan skeptisisme pejabat kolonial. Pada tahun 1911 Abendanon menerbitkan surat-surat Kartini kepada istrinya dan orang lain antara tahun 1899-1904 dengan judul Door Duisternis tot licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Pada tahun 1913 di Negeri Belanda berdiri suatu yayasan swasta bernama Kartini Fonds untuk membantu pendidikan berbahasa Belanda bagi kaum wanita Jawa. Pemerintah kolonialpun memberi subsidi. Sekolah-sekolah Kartini yang didirikan yayasan ini di Jawa berperan penting pada masa mendatang.
2. Pendekatan Kerakyatan.
Idenburg dan Gubernur Jendral van Heuttsz (1904-1909) mendukung pendidikan yang lebih mendasar dan praktis dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya bagi golongan-golongan bawah.
Pendekatan yang merakyat diharapkan memberikan sumbangan secara langsung bagi kesejahteraan.
Tidak satu kebijakan pun dijalankan dengan dana yang cukup memadai, dan satupun menghasilkan apa yang diinginkan oleh pendukungnya (Ricklefs, 2004:330).
Kita akan melihat bagaimana perkembangan pendidikan dengan pendekatan kerakyatan ini pada tulisan selanjutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan