Habis Gelap Terbitlah Terang
Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon Direktur Pendidikan Etis yang pertama (1900-1905) menginginkan pendidikan yang bergaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai pengantar bagi kaum elite Indonesia yang dipengaruhi Barat. Mereka dapat mengambil alih banyak pekerjaan yang ditangani para pegawai pemerintah yang berkebangsaan Belanda. Ini akan menciptakan suatu elite yang tahu berterima kasih dan bersedia bekerjasama, memperkecil anggaran belanja pemerintah, mengendalikan fanatisme Islam dan akhirnya menciptakan suatu keteladanan yang akan menjiwai masyarakat golongan bawah Indonesia. Pendekatan elitis diharapkan diharapkan menghasilkan pimpinan bagi zaman pencerahan baru Belanda-Indonesia.
Sejak tahun 1891, sekolah-sekolah rendah Eropa, yang merupakan prasyarat wajib untuk dapat memasuki OSVIA dan STOVIA terbuka untuk orang-orang Indonesia. Faktanya hanya orang-orang kayalah yang mampu membayar iuran sekolahnya. Abendanon memperluas kesempatan bagi rakyat Indonesia yang bukan bangsawan untuk memasukinya dan menghapuskan iuran sekolah bagi para orang tua yang penghasilannya di bawah 50 gulden per tahun. Abendanon mendapat tentangan dari berbagai kalangan termasuk dari para bupati yang konservatif. Abendanon ingin memperluas kesempatan pendidikan bagi kaum wanita Jawa kalangan atas. Cita-cita yang sama dengan yang dimiliki Raden Ajeng Kartini (1879-1904) putri Raden Mas Adipati Arya Sasraningrat dari Jepara. Sasraningrat adalah satu di antara bupati yang paling maju.
Cita-cita Abendanon dan Kartini tidak pernah mendapat prioritas pemerintah karena konservatisme para bupati dan skeptisisme pejabat kolonial. Pada tahun 1911 Abendanon menerbitkan surat-surat Kartini kepada istrinya dan orang lain antara tahun 1899-1904 dengan judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Sebuah versi menceritakan bagaimana asal muasal terbitnya buku
Door Duisternis Tot Licht yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Armijn Pane.
Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Al-Qur’an. Ketika mengikuti pengajian Kiai Soleh Darat di pendopo Kabupaten Demak yang bupatinya adalah pamannya sendiri, Kartini sangat tertarik dengan Kiai Soleh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah. Kartini lantas meminta romo gurunya itu agar Al-Qur'an diterjemahkan. Karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Dan para ulama waktu juga mengharamkannya. Mbah Shaleh Darat menentang larangan ini. Karena permintaan Kartini itu, dan panggilan untuk berdakwah, beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf Arab pegon sehingga tak dicurigai penjajah. Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an itu diberi nama Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an. Tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Jilid pertama yang terdiri dari 13 juz. Mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat Ibrahim. Kitab itu dihadiahkannya kepada RA Kartini sebagai kado pernikahannya dengan RM Joyodiningrat, Bupati Rembang.
Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.” Melalui kitab itu pula Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya. Yaitu Surat Al-Baqarah ayat 257 yang mencantumkan, bahwa Allah-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minadh-Dhulumaati ilan Nuur). Kartini terkesan dengan kalimat Minadh-Dhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya karena ia merasakan sendiri proses perubahan dirinya. Kisah ini sahih, dinukil dari Prof KH Musa al-Mahfudz Yogyakarta, dari Kiai Muhammad Demak, menantu sekaligus staf ahli Kiai Soleh Darat.
Dalam surat-suratnya kepada sahabat Belanda-nya, JH Abendanon, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. Istilah “Dari Gelap Kepada Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht” diterjemahkan Armijn Pane dengan kalimat “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Mr. Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat Kartini. Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut sebenarnya dipetik dari Al-Qur’an. Kata “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur“ dalam bahasa Arab tersebut, tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang artinya: membawa manusia dari kegelapan (jahiliyyah atau kebodohan) ke tempat yang terang benderang (petunjuk, hidayah atau kebenaran).
Komentar
Posting Komentar