Hasil Politik Etis Di Bidang Pendidikan


Pada tahun 1900, orang Indonesia yang menuntut ilmu di sekolah-sekolah swasta maupun pemerintah di seluruh Indonesia hanya berjumlah 265.940 orang. Pada tahun 1931 orang Indonesia yang bersekolah sudah mencapai lebih dari 1,7 juta orang. Namun jika diperbandingkan dengan jumlah penduduk yang sangat besar yaitu lebih dari 60 juta orang, maka upaya tersebut terlihat sangat terbatas.
Pada tahun 1931 sekitar 1,66 juta orang Indonesia menuntut ilmu di sekolah-sekolah dasar yang menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar. Jumlah ini berarti 2,8% dari keseluruhan penduduk usia sekolah. Jumlah orang Indonesia yang menuntut ilmu di dalam sistem sekolah Eropa di bawah universitas (HIS, MULO, AMS dan sekolah kejuruan) adalah 84.609 orang atau 0,14% dari keseluruhan jumlah penduduk. Di perguruan tinggi hanya terdapat 178 orang Indonesia, itu berarti hanya 0,0003% atau 3/1.000.000 penduduk. Sementara di sekolah-sekolah kejuruan pertanian dan kehutanan (suatu bidang yang seharusnya diutamakan), hanya terdapat 392 orang Indonesia setara dengan 0,0007% dari jumlah penduduk.
Pada tahun 1930, berdasarkan sensus diperoleh data mengenai rata rata angka melek huruf di Hindia Belanda yaitu 7,4 %. Di Sumatra 13,1%, di Jawa dan Madura 6%, di Bali dan Lombok 4%. Sebagian berasal dari lembaga-lembaga pribumi baik sekolah agama dan pondok pesantren maupu n yang lebih modern. Tingkat melek huruf yang tertinggi yaitu 50% terdapat di daerah Maluku Selatan yang beragama Kristen di mana misi-misi Kristen aktif di bidang pendidikan. Penduduk yang melek huruf dan bahasa Belanda hanya 0,32%. Perkecualian terdapat di Kota Ambon, yaitu 13%. Bandingkan dengan di Filipina. AS sebagai penjajah mampu membuat lebih dari seperempat jumlah penduduk Filipina mampu berbahasa Inggris.
Ricklefs berpendapat pendidikan tidak menghasilkan elite baru yang tahu berterima kasih dan bersedia bekerja sama. Tidak pula melahirkan semangat baru yang berkobar-kobar di kalangan rakyat. Pendidikan menghasilkan beberapa pegawai yang cakap dan setia, tetapi juga menghasilkan sedikit kaum elite yang tidak puas yang memimpin gerakan-gerakan anti penjajahan.
Langkah-langkah kesejahteraan umumnya tidak menghasillan kesejahteraan (2005:336). Semua penelitian menyimpulkan menurunnya kesejahteraan hidup sesudah tahun 1914 dan tidak ada bukti tentang meningkatnya kemakmuran umum setelah tahun 1930. Cerita yang sama terjadi pula dalam perbaikan-perbaikan di bidang politik dari Politik Etis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan