Infrastruktur Irigasi Transmigrasi dan Kesehatan
1. Irigasi.
Pada tahun 1867 jaringan rel kereta api di Hindia Belanda baru 25 km, pada tahun 1873 menjadi 260 km, pada tahun 1930 rel kereta api dan trem mencapai 7.425 km.
Tetapi yang terkait langsung dengan kesejahteraan adalah proyek pengairan. Suatu rencana besar untuk mengairi lembah Bengawan Solo mangkrak setelah menghabiskan dana 17 juta gulden. Luas kawasan persawahan yang bisa diairi meningkat 180% antara tahun 1885-1930.
Belanda meningkatkan produksi bahan pangan dengan mengadakan percobaan bibit-bibit baru, mendorong pemakaian pupuk dsb. Meski usaha ini berhasil namun tidak sebanding dengan banyaknya penduduk. Konsumsi beras per kepala di Jawa dan Madura menurun antara tahun 1913 dan 1924. Pangan substitusi meningkat tetapi kurang bergizi.
2. Transmigrasi.
Pada tahun 1900 jumlah penduduk di Jawa dan Madura 28,4 juta jiwa. Pada tahun 1920 sudah mencapai 34,4 juta jiwa.
Pada tahun 1930 dilakukan sensus dan menunjukkan angka 40,9 juta jiwa di Jawa dan Madura. Sementara di luar Jawa 18,2 juta jiwa. Total jumlah penduduk asli 59,1 jiwa. Jumlah orang Eropa 1,6 juta jiwa. Orang Timur Asing 1,2 juta jiwa. Jumlah seluruhnya menjadi 60,7 juta jiwa.
Karena 70% penduduk Indonesia tinggal di Jaw a dan Madura yang luasnya hanya 7%, maka Jawa sebagai lumbung pangan Nusantara menjadi wilayah yang kekurangan pangan. Anehnya pada tahun 1936 Jawa mengekspor beras lagi karena lahan tebu digunakan untuk menanam padi.
Pemerintah Belanda melakukan emigrasi dari Jawa ke Luar Jawa. Pada tahun 1905 koloni-koloni orang Jawa pertama ditempatkan di Lampung dan daerah lainnya. Sampai tahun 1930 jumlahnya mencapai 36.000 jiwa.
Banyak juga penduduk Jawa meninggalkan pulau mereka dan bekerja sebagai kuli kontrak di perkebunan Sumatea Timur dll. Jumlahnya mencapai 306.000 jiwa pada tahun 1931.
3.Kesehatan.
Belanda menaikkan anggaran kesehatan 10 kali lipat antara tahun 1900-1930. Untuk menurunkan angka kematian dilakukan program imunisasi, kampanye anti malaria dan perbaikan kesehatan. Hasil yang paling langgeng adalah dipakainya genteng sebagai atap rumah sebagai pengganti jerami setela wabah pes tahun 1911.
Perlengkapan medis yang profesional tidak memadai. Pada tahun 1930 hanya ada 1.030 orang dokter , 667 orang di antaranya di Jawa. Ada satu dokter untuk 62,5 ribu penduduk di Jawa dan 52,4 ribu di luar Jawa. Para dokter tinggal di kota besar maupun kecil, di perkebunan dsb. Perawatan medis profesional untuk penduduk desa hampir tidak ada.
Pada tahun 1867 jaringan rel kereta api di Hindia Belanda baru 25 km, pada tahun 1873 menjadi 260 km, pada tahun 1930 rel kereta api dan trem mencapai 7.425 km.
Tetapi yang terkait langsung dengan kesejahteraan adalah proyek pengairan. Suatu rencana besar untuk mengairi lembah Bengawan Solo mangkrak setelah menghabiskan dana 17 juta gulden. Luas kawasan persawahan yang bisa diairi meningkat 180% antara tahun 1885-1930.
Belanda meningkatkan produksi bahan pangan dengan mengadakan percobaan bibit-bibit baru, mendorong pemakaian pupuk dsb. Meski usaha ini berhasil namun tidak sebanding dengan banyaknya penduduk. Konsumsi beras per kepala di Jawa dan Madura menurun antara tahun 1913 dan 1924. Pangan substitusi meningkat tetapi kurang bergizi.
2. Transmigrasi.
Pada tahun 1900 jumlah penduduk di Jawa dan Madura 28,4 juta jiwa. Pada tahun 1920 sudah mencapai 34,4 juta jiwa.
Pada tahun 1930 dilakukan sensus dan menunjukkan angka 40,9 juta jiwa di Jawa dan Madura. Sementara di luar Jawa 18,2 juta jiwa. Total jumlah penduduk asli 59,1 jiwa. Jumlah orang Eropa 1,6 juta jiwa. Orang Timur Asing 1,2 juta jiwa. Jumlah seluruhnya menjadi 60,7 juta jiwa.
Karena 70% penduduk Indonesia tinggal di Jaw a dan Madura yang luasnya hanya 7%, maka Jawa sebagai lumbung pangan Nusantara menjadi wilayah yang kekurangan pangan. Anehnya pada tahun 1936 Jawa mengekspor beras lagi karena lahan tebu digunakan untuk menanam padi.
Pemerintah Belanda melakukan emigrasi dari Jawa ke Luar Jawa. Pada tahun 1905 koloni-koloni orang Jawa pertama ditempatkan di Lampung dan daerah lainnya. Sampai tahun 1930 jumlahnya mencapai 36.000 jiwa.
Banyak juga penduduk Jawa meninggalkan pulau mereka dan bekerja sebagai kuli kontrak di perkebunan Sumatea Timur dll. Jumlahnya mencapai 306.000 jiwa pada tahun 1931.
3.Kesehatan.
Belanda menaikkan anggaran kesehatan 10 kali lipat antara tahun 1900-1930. Untuk menurunkan angka kematian dilakukan program imunisasi, kampanye anti malaria dan perbaikan kesehatan. Hasil yang paling langgeng adalah dipakainya genteng sebagai atap rumah sebagai pengganti jerami setela wabah pes tahun 1911.
Perlengkapan medis yang profesional tidak memadai. Pada tahun 1930 hanya ada 1.030 orang dokter , 667 orang di antaranya di Jawa. Ada satu dokter untuk 62,5 ribu penduduk di Jawa dan 52,4 ribu di luar Jawa. Para dokter tinggal di kota besar maupun kecil, di perkebunan dsb. Perawatan medis profesional untuk penduduk desa hampir tidak ada.
Komentar
Posting Komentar