Restrukturisasi Desa

Pemerintah Hindia Belanda akan menjadikan desa sebagai perangkat pokok dalam mengusahakan kesejahteraan. Peraturan Desa tahun 1906 dan implementasinya oleh pihak Belanda bertujuan untuk meningkatkan peran serta rakyat secara demokratis dalam urusan-urusan desa, untuk meningkatkan kepaduan sosial, serta untuk memungkinkan Residen dan Controleur Belanda, bersama Kepala Desa, memimpin desa menuju langkah-langkahkesejahteraan yang diperlukan. Namun usaha usaha tersebut gagal. Kemiskinan dan kelebihan penduduk merusak kehidupan desa-desa di Jawa yang otonom dan semidemokratis.
Belanda berpendapat bahwa desa Jawa merupakan unit penerintahan yang tidak efisien. Untuk menciptakan suatu struktur pemerintahan yang lebih rasional dan untuk menjamin penghasilan yang lebih besar bagi kepala desa, dilaksanakanlah suatu kebijakan penggabungan desa-desa. Pada tahun 1897 terdaftar 30.500 desa di Jawa yang masing-masing berpenduduk rata-rata 800 jiwa. Pada tahun 1927 menjadi 18.584 desa gabungan masing-masing berpenduduk rata-rata 1.800 jiwa. (Ricklefs, 2005:329).Unit-unit yang baru ini sering tidak mempunyai dasar dalam masyarakat pribumi dan gagal tumbuh menjadi organisasi-organisasi kesejahteraan yang bersifat otonom yang berusaha dicapai oleh pemerintah kolonial.
Pemerintah Belanda mendorong perkembangan bank-bank desa, kedai-kedai beras dan proyek-proyek lainnya. Hasilnya bercampur aduk. Banyak terjadi korupsi dan salah urus.
Pertambahan jumlah penduduk terus mengakibatkan sawah-sawah dan ladang-ladang dibagi-bagi menjadi lebih kecil. Kemiskinan dan pengangguran mendorong timbulnya tindak-tindak kekerasan dan kejahatan. Banyak penduduk desa juga terlibat dalam kerusuhan dan kekerasan politik. Hal itu tidak aneh karena para pejabat pemerintah koloniallah (baik yang berkebangsaan Belanda maupun Indonesia) yang sesungguhnya mengarahkan langkah-langkahkesejahteraan, dan bukannya penduduk desa sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan