Politik Etis
Kecaman-kecaman terhadap pemerintah Belanda yang dilontarkan dalam novel Max Havelaar (1860) dan lain-lain membuahkan hasil. Semakin banyak suara di Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas.Pada akhir abad ke-19 para pegawai kolonial baru berangkat menuju Indonesia dengan membawa Max Havelaar di dalam kopor mereka dan isi novel itu dalam kepala mereka.
Selama zaman liberal industri Belanda mulai melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial yang standar hidupnya perlu ditingkatkan.
Pada tahun 1899, Th. van Deventer -seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Indonesia - menerbitkan sebuah artikel berjudul "Een eereschuld" (suatu hutang kehormatan) di dalam jurnal Belanda, de Gids. Dia mengatakan bahwa negri Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia atas semua kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka. Hutang ini harus dibayar kembali dengan memberi prioritas utama kepada kepentingan rakyat Indonesia di dalam kebijakan kolonial. Pada tahun 1901 Ratu Wilhelmina (1890-1948) mengumumkan suatu penyelidikan tentang kesejahteraan di Jawa, dan dengan demikian Politik Etis secara resmi disahkan.
Pada tahun 1902, Alexander W.F. Idenburg menjadi Menteri Urusan Daerah Jajahan dan kemudian menjabat sebagai Gubernur Jendral. Idenburg mempraktikkan pemikiran-pemik iran politik Etis berdasarkan tiga prinsip : pendidikan, pengairan dan perpindahan penduduk. Dikenal sebagai Trias van Deventer: Edukasi, irigasi, emigrasi. Pemerintah Hindia Belanda mendapat bantuan sebesar 40 juta gulden dari pemerintah Belanda untuk menjalankan Politik Etis.
Pada saat itu kegiatan ekonomi sedang bergeser ke luar Jawa sehingga menimbulkan kesulitan yang besar dalam menjalankan kebijakan pemerintah. Lapangan investasi dan penghasil komoditi ekspor yang terpenting berada di luar Jawa sedangkan masalah kesejahteraan yang utama adalah di Jawa.
Secara teoretik daerah luar Jawa harus membiayai Jawa dengan membayar pajak lebih tinggi dan tentu saja ini tidak terjadi. Orang Sunda dan Jawa menyadari bahwa untuk menjalankan program dari Politik Etis, tenaga kerja diminta dari mereka. Ketika PD I pecah, pajak yang dikenakan pada rakyat Indonesia naik sangat besar dan kesejahteraan rakyat dikalahkan oleh anggaran berimbang. Ricklefs mengatakan bahwa perbedaan antara Jawa dan luar Jawa yang berakar pada masa lalu menjadi semakin mencolok. Luar Jawa ditandai oleh ikatan dengan Islam yang lebih mendalam, kegiatan kewiraswastaan yang lebih besar, komoditi ekspor yang lebih berharga dan investasi asing yang lebih besar. Sebaliknya Jawa merupakan kawasan yang pengislamannya kurang mendalam, yang kegiatan kewiraswastaann ya kurang besar, yang nilai komoditi ekspornya merosot, yang pertumbuhan ekonominya tidak pesat, yang menghadapi campur tangan penjajah lebih lama dan lebih mendasar dan jumlah penduduknya lebih padat.
Pada tahun 1899, Th. van Deventer -seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Indonesia - menerbitkan sebuah artikel berjudul "Een eereschuld" (suatu hutang kehormatan) di dalam jurnal Belanda, de Gids. Dia mengatakan bahwa negri Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia atas semua kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka. Hutang ini harus dibayar kembali dengan memberi prioritas utama kepada kepentingan rakyat Indonesia di dalam kebijakan kolonial. Pada tahun 1901 Ratu Wilhelmina (1890-1948) mengumumkan suatu penyelidikan tentang kesejahteraan di Jawa, dan dengan demikian Politik Etis secara resmi disahkan.
Pada tahun 1902, Alexander W.F. Idenburg menjadi Menteri Urusan Daerah Jajahan dan kemudian menjabat sebagai Gubernur Jendral. Idenburg mempraktikkan pemikiran-pemik
Pada saat itu kegiatan ekonomi sedang bergeser ke luar Jawa sehingga menimbulkan kesulitan yang besar dalam menjalankan kebijakan pemerintah. Lapangan investasi dan penghasil komoditi ekspor yang terpenting berada di luar Jawa sedangkan masalah kesejahteraan yang utama adalah di Jawa.
Secara teoretik daerah luar Jawa harus membiayai Jawa dengan membayar pajak lebih tinggi dan tentu saja ini tidak terjadi. Orang Sunda dan Jawa menyadari bahwa untuk menjalankan program dari Politik Etis, tenaga kerja diminta dari mereka. Ketika PD I pecah, pajak yang dikenakan pada rakyat Indonesia naik sangat besar dan kesejahteraan rakyat dikalahkan oleh anggaran berimbang. Ricklefs mengatakan bahwa perbedaan antara Jawa dan luar Jawa yang berakar pada masa lalu menjadi semakin mencolok. Luar Jawa ditandai oleh ikatan dengan Islam yang lebih mendalam, kegiatan kewiraswastaan yang lebih besar, komoditi ekspor yang lebih berharga dan investasi asing yang lebih besar. Sebaliknya Jawa merupakan kawasan yang pengislamannya kurang mendalam, yang kegiatan kewiraswastaann
Pertumbuhan ekonomi dan masalah kesejahteraan penduduk pribumi berkaitan dengan proyek infrastruktur saja. Pemerintah Belanda gagal membuat kebijakan yang dapat mendorong industrialisasi . Belanda juga kalah berpacu dengan jumlah penduduk Jawa meski ada eksperimen dengan transmigrasi. Terkait pendidikan ada dua aliran pemikiran : pendekatan elite a la Hurgronje dan Abendanon dan pendekatan merakyat a la Idenburg dan van Heutz. Tapi kedua pendekatan itu tidak mempunyai cukup dana yang memadai.
Kegagalan politik etis tampak jelas pada akhir Perang Dunia I. Kemiskinan dan kemelaratan merupakan keadaan umum. Sejak tahun 1914 muncul kecaman. Gerakan sosial terjadi berbagai daerah. Proses radikalisasi bertambah kuat setelah krisis pabrik gula tahun 1918 dan krisis ekonomi tahun 1921. Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum yang toleran terhadap perjuangan bangsa Indonesia diganti oleh D. Fock yang menjalankan pemerintahannya secara otokratis. Politik pemerasan terjadi kembali (Masyhuri, Niel, Kartodirdjo).
Komentar
Posting Komentar