Pendekatan Kerakyatan Dalam Pendidikan


Idenburg dan Gubernur Jendral van Heuttsz (1904-1909) mendukung pendidikan yang lebih mendasar dan praktis dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya bagi golongan-golongan bawah. Pendekatan yang merakyat diharapkan memberikan sumbangan secara langsung bagi kesejahteraan.
Selama van Heutz menjabat sebagai Gubernur Jendral (1904-1909) dan Dirk Fock menjabat sebagai Menteri Urusan Daerah Jajahan (1905-1908), gagasan mengenai pendidikan rakyat memperoleh lebih banyak dukungan. Fock mengutamakan sekolah-sekolah teknik dan kejuruan. Meski Snouck Hurgronje dan pengikutnya mengatakan bahwa para tamatan sekolah-sekolah tersebut tidak akan membangkitkan perusahaan-perusahaan pribumi melainkan hanya mendapat pekerjaan di perusahaan-perusahaan Eropa. Meskipun demikian Fock tetap bersikeras.
Berbagai sekolah kejuruan telah didirikan oleh misi-misi Kristen sejak tahun 1881 di Minahasa, di Tapanuli dan Jawa. Sekolah kejuruan pemerintah yang pertama didirikan di Batavia, Semarang dan Surabaya pada tahun 1909. Sekolah sekolah tersebut juga mengajarkan kursus-kursus bagi para pandai besi dan tukang kayu, para tukang listrik, montir mobil dsb. Lulusan sekolah itu kadang membangkitkan perusahaan pribumi tetapi sebagian besar memang menjadi karyawan perusahaan-perusahaan Eropa. Pandangan orang-orang skeptis terbukti benar.
Menurut Ricklefs, perbaikan-perbaikan pendidikan yang paling berarti adalah dalam sistem sekolah dasar dua kelas yang dibuka secara kecil-kecilan untuk orang Indonesia sejakntahun 1892-1893. Sekolah Kelas Satu diperuntukkan bagi golongan atas, sedangkan sekolah-sekolah Kelas Dua untuk rakyat jelata. Sekolah Kelas Satu diubah pada tahun 1907. Sekolah Kelas Satu kini menerapkan masa pendidikan lima tahun yang mengajarkan bahasa Belanda dan pada tahun keenam bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar dalam proses pembelajaran. Pada 1911 ditambah dengan tahun ketujuh. Guru guru Belanda kini muncul di sekolah tersebut, kebanyakan perempuan, karena guru laki-laki enggan mengajar rakyat pribumi.
Pada tahun 1852 dibuka sekolah guru pribumi (Kweekscholen) yang kemudian disusul oleh sekolah serupa pada tahun 1870 dengan kembali mengajarkan bahasa Belanda setelah ditiadakan selama dua tahun dan kemudian bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar.
Sekolah Kelas Satu berada dalam sistem pendidikan pribumi dan tidak ada kesempatan bagi seorang Indonesia untuk melompat dari sistem ini ke sistem Eropa yang paralel untuk bisa menuju ke pendidikan lanjutan. Karenanya pada tahun 1915 Sekolah Kelas Satu diubah menjadi sekolah Belanda-Pribumi yang disebut HIS ( Hollandsch-Inlandsche School). Dengan demikian menjadi bagian dari sekolah Eropa di Indonesia, walaupun masih tetap diperuntukkan bagi bangsa Indonesia dari golongan atas dengan persyaratan mengenai penghasilan terendah orang tua. Pada tahun 1908 dibuka Sekolah Belanda-Cina (Hollandsch-Chineesche School). Meskipun sekolah Pribumi, Cina dan Cina itu berbeda dalam hal suku bangsa namun semuanya mengarah ke pendidikan tingkat lanjutan dan kemudian ke lapangan kerja birokrasi yang lebih tinggi.
Di atas HIS pemisahan ras dalam pendidikan sudah tidak ada lagi. Pada tahun 1914 didirikan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) semacam SLTP. Pada tahun 1919 didirikan AMS (Algemene Middlebare Scholen) semacam SMU untuk mereka yang akan masuk Perguruan Tinggi.
Hingga saat itu belum ada PT di Indonesia. Mereka yang hendak memasuki PT harus ke negri Belanda setelah menembus sistem Eropa melalui HBS (Hoogere Burgetschool). Pada tahun 1905 hanya ada 36 orang Indonesia yang berhasil memasuki HBS.
Pada tahun 1913 Hoesein Djajadiningrat dari keluarga bupati di Jawa Barat menjadi orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor di Universitas Leiden dengan disertasi berjudul Sejarah Banten (2005:333).
Pada tahun 1920 dibuka THS (Technische Hoogeschool atau Sekolah Tinggi Teknik) yang tidak memandang ras di Bandung. Pada tahun 1924 berdiri Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia. Pada tahun 1927 STOVIA diubah menjadi Geneeskundige Hoogeschool atau Sekolah Tinggi Kedokteran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan