Hindia Belanda (Flashback)
Pada tanggal 7 Maret 1942, militer Jepang menduduki Surabaya dan
Lembang. Letnan Jendral H. Ter Pooter secara resmi menyampaikan
penyerahan Belanda atas Jawa kepada Jepang termasuk 100.000 tentara
Sekutu (Hook, 2004:81). Pada tanggal 8 Maret 1942, Gubernur Jenderal
van Starkenborgh ditawan oleh pihak Jepang. Berakhirlah kekuasaan
Belanda di Indonesia (Ricklefs, 2003 :398-402). Untuk menyegarkan
kembali ingatan, berikut ini saya sampaikan sekilas mengenai pemerintahan Hindia Belanda.
Pemerintahan kolonial Hindia Belanda secara de jure berkuasa atas Kepulauan Indonesia sejak keruntuhan VOC pada tahun 1799. Kekuasaan tertinggi terletak pada Gubernur Jenderal yang bertanggungjawab kepada pemerintah Belanda. Pemerintah Hindia Belanda ini berhasil mempertahankan kekuasaannya sampai tahun 1942, dan runtuh setelah penyerbuan pasukan Jepang dalam Perang Dunia II. Setelah PD II selesai dan pemerintahan pendudukan Jepang berakhir, Belanda berusaha menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Perlawanan muncul dari pihak bangsa Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda sejak Gubernur Jenderal Pieter van Overstraten, yang berkuasa saat VOC runtuh tahu 1799, sampai gubernur jenderal yang terakhir, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936-1942), tidak pernah meninggalkan politik eksploitasinya terhadap daerah jajahan. Pandangan bahwa negeri jajahan harus memberi keuntungan kepada negeri induk tidak pernah kendor dalam praktik-praktik pemerintahan Hindia Belanda.
Usaha-usaha untuk memperbaiki kehidupan rakyat jajahan muncul pada masa-masa liberalisme (1870-1900) dan periode politik etis (1900-1921). Kaum humanis yang memperkenalkan politik liberalisme dengan dasar humanisme dan keum etis dengan politik balas jasanya ternyata tidak menolong nasib rakyat terjajah. Eksploitasi terus berlangsung. Kalau pada masa tanam paksa dan sebelumnya eksploitasi dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, pada masa sesudahnya eksploitasi dilakukan oleh pemilik modal swasta. Politik etis pun mengalami kegagalan akibat politik penghematan pada pemerintahan Gubernur Jenderal D. Fock (1921-1926).
Politik etis untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia diterapkan setengah-setengah, dengan kepentingan kolonial sebagai pertimbangan utamanya. Ketika pergerakan nasional semakin kuat di kalangan bangsa Indonesia, pemerintah Hindia Belanda menerapkan politik reaksioner dengan melakukan penindasan terhadap kaum pergerakan (Masyhuri, 2004: 433-434).
Pemerintahan kolonial Hindia Belanda secara de jure berkuasa atas Kepulauan Indonesia sejak keruntuhan VOC pada tahun 1799. Kekuasaan tertinggi terletak pada Gubernur Jenderal yang bertanggungjawab kepada pemerintah Belanda. Pemerintah Hindia Belanda ini berhasil mempertahankan kekuasaannya sampai tahun 1942, dan runtuh setelah penyerbuan pasukan Jepang dalam Perang Dunia II. Setelah PD II selesai dan pemerintahan pendudukan Jepang berakhir, Belanda berusaha menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Perlawanan muncul dari pihak bangsa Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda sejak Gubernur Jenderal Pieter van Overstraten, yang berkuasa saat VOC runtuh tahu 1799, sampai gubernur jenderal yang terakhir, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936-1942), tidak pernah meninggalkan politik eksploitasinya terhadap daerah jajahan. Pandangan bahwa negeri jajahan harus memberi keuntungan kepada negeri induk tidak pernah kendor dalam praktik-praktik pemerintahan Hindia Belanda.
Usaha-usaha untuk memperbaiki kehidupan rakyat jajahan muncul pada masa-masa liberalisme (1870-1900) dan periode politik etis (1900-1921). Kaum humanis yang memperkenalkan politik liberalisme dengan dasar humanisme dan keum etis dengan politik balas jasanya ternyata tidak menolong nasib rakyat terjajah. Eksploitasi terus berlangsung. Kalau pada masa tanam paksa dan sebelumnya eksploitasi dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, pada masa sesudahnya eksploitasi dilakukan oleh pemilik modal swasta. Politik etis pun mengalami kegagalan akibat politik penghematan pada pemerintahan Gubernur Jenderal D. Fock (1921-1926).
Politik etis untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia diterapkan setengah-setengah, dengan kepentingan kolonial sebagai pertimbangan utamanya. Ketika pergerakan nasional semakin kuat di kalangan bangsa Indonesia, pemerintah Hindia Belanda menerapkan politik reaksioner dengan melakukan penindasan terhadap kaum pergerakan (Masyhuri, 2004: 433-434).
Komentar
Posting Komentar