S.M. Kartosuwirjo (1905-1962)


Sekarmaji Marijan Kartosuwirjo, lahir di Cepu Kabupaten Blora , pada 7 Januari 1905. Ketika masih belajar di NIAS (sekolah dokter di Surabaya), ia tertarik pada gerakan Sarekat Islam (SI) yang dipimpin Haji Oemar Said Tjokroainoto. Ia lalu melepaskan studinya dan menjadi anggota gerakan itu sebagai korektor dan kemudian redaktur harian Utusan Hindia, Surabaya milik SI. Sewaktu keluarga Tjokroaminoto pindah ke Cimahi dan kemudian ke Jakarta, ia ikut pindah. Di Jakarta Kartowuwirjo turut membantu Tjokroaminoto dan Agus Salim mendirikan surat kabar Fadjar Asia. Sementara itu, kedudukannya dalam partai cepat menanjak. Mula-mula ia duduk dalam Lajnah Tandfidziyah (Badan Eksekutif), lalu menjadi anggota Dewan Partai.

Pada zaman Jepang, Kartosuwirjo bekerja pada kantor MIAI (yang kemudian menjadi Masyumi) dan sering menulis di majalah yang diterbitkan organisasi keagamaan itu,  Suara MIAI dan Suara Masyumi. Pada masa Revolusi ia sempat diminta untuk duduk dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I sebagai Menteri Muda II Pertahanan, tetapi ia menolak.

Setelah Indonesia merdeka, Kartosuwirjo menjadi anggota pengurus besar partai Islam, Masyumi. Ia kemudian ditunjuk mewakili partai ini dalam KNIP. Ketika terjadi Clash I Clash II, Kartowuwirjo giat bergerilya di daerah Jawa Barat. Ketika pasukan RI harus hijrah akibat perjanjian Renville, ia mulai merasa dikhianati oleh RI. Maka ia memproklamasikan Negara Islam Indonesia, lengkap dengan Tentara Islam Indonesia, lengkap dengan Tentara Islam Indonesia. Gerakannya dinamakan Darul Islam (DI).

Darul Islam berkembang menjadi gerombolan pengacau, karena dalam praktiknya  gerombolan ini justru menyebarkan malapetaka dan kekacauan di kalangan masyarakat. Para anggotanya merampok, membunuh, memperkosa, dan melakukan tindak kejahatan lainnya, sehingga gerakan ini memiliki konotasi sangat negatif. Bahkan beberapa kali gerombolan ini melakukan usaha pembunuhan terhadap presiden Sukarno. Situasi ini dimanfaatkan oleh PKI untuk menghantam lawan politiknya, Masyumi, yang selalu dikaitkan dengan DI, meskipun Kartosuwirjo sudah melepaskan diri dari partai itu.

Dengan operasi terus menerus pemerintah RI mampu mempersempit kegiatan DI. Dengan gerakan Pagar Betis, Kartosuwirjo beserta keluarga dan beberapa pengikutnya dapat ditangkap. Ia dihadapkan ke Mahkamah Militer dan dijatuhi hukuman mati (Soebagijo IN, ENI Vol. 8, 2004 : 199).

Informasi lain dari bergagai sumber mengatakan bahwa pada umur 8 tahun, Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK). Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera. Empat tahun kemudian, ia masuk ELS  di Bojonegoro  (sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS  adalah orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya dari kalangan bangsawan Surakarta yang bernama Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiyah . Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo  ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi ajaran-ajaran Islam.

Setelah lulus dari ELS  pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands Indische Artsen School.

Kartosoewirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Gerakan politik untuk lepas dari Republik Indonesia di Desa Cisampah Kecamatan Ciawiligar Kawedanan Cisayong Tasikmalaya Jawa Barat. Saat  itu Kartosuwirjo memiliki pasukan Tentara Islam Indonesia (TII) yang beranggotakan sekitar 4.000 orang, mereka terdiri atas pasukan Hizbullah dan Sabililah. (Perlu dicatat bahwa tidak semua pasukan Hizbullah bergabung dengan TII. Mudah-mudahan saya bisa menulis mengenai hal ini di kesempatan lain).
Soekarno kemudian mengirimkan tentara dari Divisi Siliwangi dan satuan-satuan lain untuk menumpas gerakan Kartosuwirjo. Perlawanan  Kartosuwirjo berakhir setelah dia ditangkap pasukan Indonesia— Suhanda seorang prajurit Siliwangi--  di wilayah Gunung Rakutak, Kabupaten Bandung,  Jawa Barat pada tanggal  4 Juni 1962. Pada tanggal 16 Agustus 1962 ia divonis mati oleh Pengadilan Militer. Pada  tanggal 5 September 1962 dieksekusi mati dan jasadnya dimakamkan di Pulau Ubi, wilayah Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, pada usia 57 tahun .

Ribuan pengikut Kartosoewirjo mendapat amnesti dari pemerintah termasuk 32 petinggi dari sayap militer. Mereka menyerah pada tanggal 1 Agustus 1962, dan menyatakan ikrar kesetiaan yang isinya antara lain : “Demi Allah, akan setia kepada pemerintah RI dan tunduk kepada UUD 1945.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan