Penghapusan Pengaruh Barat


Untuk memusnahkan pengaruh Barat, pihak Jepang memajukan pemakaian bahasa Jepang,  melarang pemakaian bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Membaca buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris juga dilarang. Hal itu menyebabkan pendidikan tinggi menjadi mustahil selama masa perang. Kalender Jepang diperkenalkan untuk tujuan-tujuan resmi. Patung-patung Eropa diruntuhkan. Jalan-jalan diberi nama baru. Batavia dikembalikan namanya menjadi Jakarta lagi.

Suatu kampanye propaganda yang intensif dimulai untuk meyakinkan rakyat Indonesia bahwa mereka dan bangsa Jepang adalah saudara seperjuangan dalam perang yang luhur untuk membentuk suatu tatanan baru di Asia. Pihak Jepang memperkerjakan orang-orang Indonesia untuk mengimplementasikan tujuan-tujuan propaganda mereka, khususnya guru-guru sekolah, para seniman, tokoh-tokoh sastra yang dikenal anti Belanda. Muhammad Yamin, Sanusi Pane, dan Armijn Pane adalah sebagian dari mereka itu. Film, drama, wayang, dan terutama radio digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan Jepang. Karena jumlah radio masih sedikit, maka banyak propaganda radio disiarkan lewat pengeras-pengeras suara yang dipasang pada tempat-tempat umum.

Upaya propaganda sering mengalami kegagalan karena adanya kenyataan-kenyataan bahwa akibat pendudukan Jepang terjadi kekacauan ekonomi, teror Polisi Militer (Kenpeitai), kerja paksa, penyerahan wajib beras, kesombongan dan kekejaman orang-orang Jepang pada umumnya, pemukulan dan pemerkosaan, serta kewajiban memberi hormat kepada setiap orang Jepang. Orang-orang yang telah menyambut baik kehadiran orang-orang Jepang sebagai pembebas seringkali dengan cepat menjadi kecil hati.

Bagaimanapun, kampanye anti-Barat ini benar-benar mempertajam sentimen anti-Belanda pada seluruh masyarakat Indonesia dan mendorong menyebarnya gagasan tentang Indonesia di kalangan rakyat. Karena bahasa Jepang hanya sedikit diketahui, maka bahasa Indonesia menjadi sarana bahasa yang utama untuk propaganda dan dengan demikian, statusnya sebagai bahasa nasional menjadi semakin kokoh (Ricklefs, 2003: 410-411).

Sekolah
Dalam rangka pengerahan massa dan pemulihan ekonomi, beberapa sekolah yang pada awal pendudukan Jepang ditutup, dibuka kembali. Sekolah yang dibuka kembali, antara lain kokumin gakko (Sekolah Rakyat) dengan lama pendidikan enam tahun; shoto chu gakko (SMP) dengan lama pendidikan tiga tahun; sekolah menengah atas jurusan A (sastra), B (ilmupasti alam) dan C (ekonomi); sekolah guru; dan sekolah tinggi teknik (kogyo dai gakko) (Sitaresmi, 2002 :38).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan