Jangka Jayabaya


Jangka  Jayabaya adalah suatu ramalan mengenai nasib Pulau Jawa (atau Indonesia)  yang pada intinya mengatakan bahwa orang berkulit kuning akan datang dan setelah masa seumur jagung ia berada di Indonesia, Ratu Adil akan datang.  Orang berkulit kuning ini dipercaya adalah orang-orang Jepang.  Masa seumur jagung ditasirkan sebagai masa penjajahan Jepang yang  singkat.  Gagasan ideal Ratu Adil ini pernah dinisbahkan pada pemimpin-pemimpin Indonesia seperti H.O.S. Tjokroaminoto kemudian Sukarno. Belum ada bukti bahwa ramalan ini ditulis pada masa pemerintahan Jayabaya. Para sejarawan menduga, Jangka Jayabaya ini ditulis oleh pujangga-pujangga yang datang kemudian. 

Mengenal Jayabaya.

Jayabaya raja Panjalu yang naik takhta kerajaan menggantikan Sri Maharaja Bameswara. Ia memerintah dari tahun Saka 1057 (1135 M) sampai 1079 (1157 M) dengan gelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayattunggadewanama Jayabhayalancana. Keberhasilan dan kemasyhuran Raja Jayabaya bukan karena Jangka Jayabaya saja, melainkan pada hasil sastra pada masa pemerintahannya. Atas perintahnya pujangga keraton Mpu Sedah menulis Kakawin Bharatayudha pada tahun Saka 1079 (1157 M) yang kemudian diselesaikan Mpu Panuluh.  Dalam kakawin tersebut Raja Jayabaya disamakan dengan titisan Wisnu, Bhatara Krisna. Diceritakan Pulau Jawa rusak pada pemerintahan sebelumnya, karena diperintah oleh raja-raja yang merusak. Bhatara Wisnu turun dari kahyangan kemudian menitis pada diri Raja Jayabaya. Berkat titisan ini Raja Jayabaya dapat membinasakan musuh-musuhnya. Oleh Slamet Mulyono, kakawin Bharatayudha ini disebut Jayasutra, karya sastra tentang kemenangan.

Anggapan bahwa Raja Jayabaya adalah titisan Wisnu disebut-sebut dalam prasasti Ngantang berangka tahun 1135 M dan prasasti Talan berangka tahun 1136 M. Untuk menunjukkan hal  itu dalam prasasti tersebut Jayabaya disebut sebagai Madhusudana Awatara. Sedangkan dalam prasasti Ngantang , Jayabaya disebut sebagai Hemabhupati, artinya semua musuh sang prabu tunduk dan menghadap sang raja yang mulia (Masyhuri, ENI Vol. 7, 2004:390-391).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan