Suasana Revolusioner Di Sekitar Kedatangan Jepang


Menjelang dan sesudah kedatangan Jepang terjadi suasana revolusioner di sana-sini.  Di Sumatra, pada tanggal 19 Februari  1942, tiga minggu sebelum mendaratnya Jepang di daerah itu, para ulama Aceh memulai kampanye sabotase terhadap Belanda. Pada awal bulan  Maret, Aceh pun memberontak. Kebanyakan para uleebalang (bangsawan) memutuskan tidak melawan arus, dan Belanda tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengungsi ke selatan. Para pemimpin PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) berharap pihak Jepang memberi hadiah atas usaha mereka dengan menggeser kekuasaan para uleebalang. Di Sumatra Timur, orang-orang Batak Karo bersama pimpinan Gerindo yang beraliran nasionalis membantu pihak Jepang dengan harapan menyaksikan terdepaknya kaum bangsawan dukungan Belanda dari kekuasaan mereka.  Mereka mulai mendiami tanah yang mereka nyatakan sebagai milik mereka sendiri dan menyerang lawan-lawan mereka, terutama di daerah Deli pada bulan Juni-Juli 1942. Di Minangkabau, para ulama juga menyaksikan terdepaknya pemimpin-pemimpin penghulu dari kekuasaan mereka.

Di Jawa, serangan-serangan terhadap orang-orang Eropa dan perampokan terhadap rumah-rumah mereka di Banten, Cirebon, Surakarta dan banyak kota kecil lainnya tampak menjurus ke suatu gelombang revolusi. Di beberapa daerah, tindakan-tindakan ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Islam setempat. Orang-orang Eropa dan harta mereka, toko-toko dan para pedagang Cina, di beberapa tempat, orang-orang Jawa yang beragama Kristen menjadi sasaran kekerasan dan terkadang pembunuhan.\

Jepang yang harus menghadapi peperangan, dengan cepat turun tangan di manapun revolusi mengancam dan menghentikannya. Jepang mengikuti  jejak Belanda, memerintah Indonesia dengan menyandarkan diri pada orang-orang setempat yang berpengalaman seperti para raja di Sumatra Timur, para penghulu di Minangkabau, para uleebalang di Aceh, para priyayi di Jawa,  serta tokoh-tokoh-tokoh serupa di daerah  lain. Meskipun demikian, Jepang memberi kesempatan lebih besar kepada para pemimpin Islam, jika dibandingkan dengan kesempatan yang diberikan Belanda kepada pemimpin Islam (Ricklefs, 2003 :407-408).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan