Ahmad Subardjo (Teuku Abdul Manaf)
Ahmad Soebardjo (1896-1978).
Sebelum Hatta ada beberapa nama pemimpin Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda, yaitu Noto Suroto dan Ahmad Soebardjo. Tentang Noto Suroto saya belum memperoleh informasi yang utuh, sedangkan mengenai Ahmad Soebardjo, berikut ini biografinya.
Soebardjo menulis sendiri riwayat hidupnya dalam buku Kesadaran Nasional pada tahun 1978. Ia lahir di Kerawang. Dari ayahnya, yang berasal dari Aceh, ia memperoleh nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan dari jalur ibunya -yang masih keturunan Sunan Kalijaga- ia diberi nama Soebardjo yang berarti berlian. Gelar Mr (Meester in de Rechten) diraihnya di Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1933. Saat di PI, ia mengunjungi berbagai Kongres Liga Anti Imperialis di Brussels, Köln, dan Frankfurt. Sewaktu pada tahun 1927 di Moskow diadakan perayaan 10 tahun berdirinya Uni Sovyet, ia menjadi anggota delegasi pelajar Indonesia atas undangan pemerintah Uni Sovyet. Ia juga menjadi jurnalis dengan memimpin redaksi majalah Recht en Vrijheid dan Indonesia Merdeka, corong PI. Kegiatan jurnalistiknya dilanjutkan di tanah air saat pada tahun 1934 ia kembali dan menjadi pengacara di Semarang, di mana ia membantu majalah Nationale Commentaren pimpinan Dr. Sam Ratulangie, di samping menjadi pemimpin majalah Kritiek en Opbouw yang didirikannya bersama Dr. Koets dan D.M.G. Koch.
Semasa pendudukan Jepang, Soebardjo menjadi pembantu kantor penasihat AD Jepang dan Kepala Biro Riset AL Jepang yang dipimpin Laksamana Maeda. Ia pun menjadi anggota BPUPKI. Bersama Dr. Mr. Supomo dan Mr. A.A. Maramis ia merancang UUD NRI. Ia pun dikenal sebagai salah seorang penandatangan piagam Jakarta.
Setelah Indonesia merdeka, Soebardjo diangkat sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Presidensial (1945). Di tengah gejolak revolusi, ia dituduh terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 sehingga ditangkap bersama Tan Malaka, Mr. Muhammad Yamin dan Adam Malik. Oleh pengadilan mereka dijatuhi hukuman penjara dan baru dibebaskan menjelang peringatan 17 Agustus 1948.
Sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo , ia menandatangani Mutual Security Act (Perjanjian Keamanan) dengan Pemerintah AS pada tahun 1951. Perjanjian itu menyebabkan jatuhnya kabinet. Masih pada tahun 1951, ia mengetuai delegasi Indonesia dalam Konferensi Perdamaian dengan Jepang yang diadakan di San Fransisco (1951). Pada kesempatan itu PM Jepang, Yoshida meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas kejejaman pasukan pendudukan Jepang terhadap bangsa Indonesia selama peperangan.
Soebardjo banyak memegang jabatan non pemerintahan antara lain di PBB dan mengajar di berbagai universitas antara lain di Universitas Indonesia. Ia juga seorang guru besar di bidang sejarah konstitusi (Soebagijo I.N., 2004:137-138).
Sebelum Hatta ada beberapa nama pemimpin Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda, yaitu Noto Suroto dan Ahmad Soebardjo. Tentang Noto Suroto saya belum memperoleh informasi yang utuh, sedangkan mengenai Ahmad Soebardjo, berikut ini biografinya.
Soebardjo menulis sendiri riwayat hidupnya dalam buku Kesadaran Nasional pada tahun 1978. Ia lahir di Kerawang. Dari ayahnya, yang berasal dari Aceh, ia memperoleh nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan dari jalur ibunya -yang masih keturunan Sunan Kalijaga- ia diberi nama Soebardjo yang berarti berlian. Gelar Mr (Meester in de Rechten) diraihnya di Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1933. Saat di PI, ia mengunjungi berbagai Kongres Liga Anti Imperialis di Brussels, Köln, dan Frankfurt. Sewaktu pada tahun 1927 di Moskow diadakan perayaan 10 tahun berdirinya Uni Sovyet, ia menjadi anggota delegasi pelajar Indonesia atas undangan pemerintah Uni Sovyet. Ia juga menjadi jurnalis dengan memimpin redaksi majalah Recht en Vrijheid dan Indonesia Merdeka, corong PI. Kegiatan jurnalistiknya dilanjutkan di tanah air saat pada tahun 1934 ia kembali dan menjadi pengacara di Semarang, di mana ia membantu majalah Nationale Commentaren pimpinan Dr. Sam Ratulangie, di samping menjadi pemimpin majalah Kritiek en Opbouw yang didirikannya bersama Dr. Koets dan D.M.G. Koch.
Semasa pendudukan Jepang, Soebardjo menjadi pembantu kantor penasihat AD Jepang dan Kepala Biro Riset AL Jepang yang dipimpin Laksamana Maeda. Ia pun menjadi anggota BPUPKI. Bersama Dr. Mr. Supomo dan Mr. A.A. Maramis ia merancang UUD NRI. Ia pun dikenal sebagai salah seorang penandatangan piagam Jakarta.
Setelah Indonesia merdeka, Soebardjo diangkat sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Presidensial (1945). Di tengah gejolak revolusi, ia dituduh terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 sehingga ditangkap bersama Tan Malaka, Mr. Muhammad Yamin dan Adam Malik. Oleh pengadilan mereka dijatuhi hukuman penjara dan baru dibebaskan menjelang peringatan 17 Agustus 1948.
Sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo
Soebardjo banyak memegang jabatan non pemerintahan antara lain di PBB dan mengajar di berbagai universitas antara lain di Universitas Indonesia. Ia juga seorang guru besar di bidang sejarah konstitusi (Soebagijo I.N., 2004:137-138).
Komentar
Posting Komentar