Bung Hatta

Mohammad Hatta (1902-1980).
Mohammad Hatta dilahirkan di Bukittinggi tanggal 12 Agustus 1902. Ayahnya seorang ulama dari Limapuluh Kota bernama Haji Muhammad Djamil, sedangkan ibunya berasal dari keluarga pengusaha terpandang Bukittinggi. Ia menempuh pendidikan dasar di ELS (Europese Lagere School) di Bukittinggi, pendidikan menengah pertama MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Padang dan pendidikan menengah ekonomi HMS (Handels Middlebare School) di Jakarta kemudian sekolah tinggi ekonomi (Handels Hogere School) di Rotterdam. Karena pindah jurusan ke ekonomi kenegaraan setelah memperoleh gelar sarjana muda dan karena aktivitasnya di Perhimpunan Indonesia (PI), kuliahnya menjadi terhambat. Baru pada tahun 1932 Hatta menyandang gelar sarjana ekonomi.
Saat bersekolah di MULO, Hatta aktif di perkumpulan sepakbola sekolahnya dan Jong Sumatranen Bond cabang Padang. Ketika bersekolah di Jakarta ia menjabat bendahara Jong Sumatranen Bond pusat sekaligus mengurus majalah Jong Sumatra. Saat di negeri Belanda ia menjadi anggota PI mulai dari anggota, bendahara, dewan redaksi majalah Indonesia Merdeka hingga ketua selama empat periode (1926-1930). Hatta mengundurkan diri setelah PI dibawa Rustam Effendi berorientasi ke kiri (komunisme).
Nasionalisme Hatta tumbuh sewaktu ia bersekolah di Padang. Saat itu ia banyak membaca tulisan tokoh SI seperti Haji Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto melalui majalah Neraca. Sebelum itu ia melihat perlakuan kasar serdadu Belanda terhadap rakyat yang dicurigai terlibat pemberontakan belasting di Kamang tahun 1908. Ia juga mengetahui penembakan Haji Hasan di Garut, termasuk pidato gubernur jendral Belanda (Janji November 1918) di depan Volksraad.
Ketika menjadi ketua PI, Hatta menggariskan haluan politik nonkoperasi dan mencanangkan semboyan "Indonesia merdeka sekarang juga." Hatta juga aktif dalam berbagai organisasi lain seperti Liga Menentang Kolonialisme. Dalam kongres liga tersebut di Brussels pada Februari 1927, ia berbicara tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Saat PKI dibubarkan dan pergerakan nasional dikekang dan dicap sebagai komunis, Semaun melarikan diri ke luar negri. Di Belanda ia berunding dengan Hatta dan lahirlah Konvensi Semaun-Hatta. Isinya : PKI akan menyerahkan miliknya kepada partai nasional yang dibentuk Hatta. Akibatnya Semaun dipecat dari Komintern di Moskow. Sementara Hatta dituduh sebagai komunis. Ia ditangkap pada tanggal 25 September 1927 dan dipenjarakan bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Dt. Pamuntjak dan Abdulmajid Djojoadiningrat.
Dalam sidang pengadilan tanggal 22 Maret 1928, Hatta membacakan pembelaannya berjudul Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) yang mengupas praktik-praktik kolonial di Indonesia dan memaparkan kesengsaraan rakyat akibat praktik tersebut. Ia juga mengatakan bahwa PI berjuang mencapai kemerdekaan melalui perjuangan politik bukan melalui jalan kekerasan, dan penjajahan Belanda pasti akan berakhir. Hatta dan rekan-rekannya dibebaskan.
Saat PNI dibubarkan Sartono, Hatta bersama Golongan Merdeka turut menentang. Mereka akhirnya mendirikan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) yang lazim disebut PNI Baru yang nonkoperatif dan menerbitkan majalah Daulat Rakyat. Sjahrir pulang ke Indonesia dan memimpin partai itu. Pada tahun 1932 Hatta pulang ke tanah air dan bergabung dengan partai itu. Hatta meletakkan dasar perjuangan bagi PNI Baru, yakni mendidik rakyat dalam hal-hal politik, ekonomi dan sosial dengan memperhatikan asas-asas kedaulatan rakyat.
Pendidikan ekonomi dimaksudkan untuk menumbuhkan tata ekonomi yang berdasarkan cita-cita kolektivisme (koperasi) dan mengembangkan serikat pekerja. Sasaran yang hendak dicapai dengan pendidikan sosial adalah mempertinggi kesejahteraan rakyat dan menunjukkan cara-cara mengatasi hal-hal yang dapat merusak sendi penghidupan nasional. Pendidikan itu dilakukan dengan cara mengadakan kursus-kursus, rapat-rapat anggota atau tulisan-tulisan dalam majalah. PNI Baru mengeluarkan sebuah brosur "Ke Arah Indonesia Merdeka" (KIM).
Dalam bidang pemerintahan, Hatta mengembangkan paham yang disebut "kedaulatan rakyat" yang berbeda dengan kedaulatan rakyat anutan negara-negara Barat yang berdasarkan individualisme. Hatta mencita-citakan kedaulatan rakyat berdasarkan rasa kebersamaan (kolektivisme). Ia menggali dasar tersebut dari paham demokrasi asli Indonesia yang hidup di pedesaan, lalu menyesuaikannya dengan kondisi zaman yang sudah berubah. Daulat tuanku dalam kehidupan Indonesia lama harus diganti dengan "daulat rakyat " dalam kehidupan Indonesia baru (Imran, 2004: 362-371).
Hatta melihat tiga unsur dalam demokrasi asli Indonesia yaitu : (1) rapat sebagai tempat rakyat atau utusan rakyat bermusyawarah dan bermufakat untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama; (2) massa-protes, yakni hak rakyat untuk membantah secara terbuka semua peraturan yang mereka anggap tidak adil; (3) kebiasaan tolong menolong yang merupakan kandungan dasar ekonomi koperasi yang berarti kolektivisme, namun bukan kolektivisme sentralisasi, melainkan desentralisasi.
Pada tahun 1930-an, Hatta berpendapat bahwa bentuk negara yang sesuai untuk Indonesia adalah republik serikat, karena Indonesia terdiri atas banyak pulau dan suku bangsa. Tiap daerah atau golongan harus mendapat hak oronomi dan wewenang untuk membuat peraturan sendiri, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat. Namun dalam BPUPKI Hatta menyetujui bentuk republik kesatuan.
Pada akhir tahun 1932 Hatta menerima telegram dari sebuah partai sosialis Belanda yang meminta kesediaannya dicalonkan sebagai anggota Tweede Kamer. Kantor berita Aneta memberitakan bahwa Hatta sudah menerima pencalonan tersebut. Akibatnya Sukarno mengkritik Hatta yang dituduh berbalik dari sikap nonkooperasi ke kooperasi, dalam majalah Persatuan Indonesia. Hal ini menjadi polemik antara Hatta dan Sukarno. Menurut Hatta nonkooperasi bukan berarti nonaksi. Sukarno beranggapan bahwa kesediaan seorang nasionalis nonkooperator duduk dalam Tweede Kamer berarti menjalankan politik yang tidak prinsipil lagi dan telah melupakan hakikat perjuangan.
Pada tahun 1930-an pemerintah Hindia Belanda bertindak represif. Pada tanggal 31 Juli 1933 Sukarno ditangkap. Pada tanggal 25 Februari 1934 Hatta, Sjahrir dan tokoh PNI Baru lainnya ditangkap. Setelah mendekam di penjara selama satu tahun, pada awal Januari 1935 mereka dibuang ke Digul. Karena kecaman Colijn (Menteri Jajahan), pada bulan November 1936 Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira. Pada bulan Februari 1942 mereka berdua dipindahkan ke Sukabumi. Mereka dibebaskan setelah Jepang berkuasa.
Walaupun membenci fasisme, Hatta bersama Sukarno tidak mungkin menolak tawaran kerjasama dengan Jepang. Mereka berdua memilih tampil secara terbuka selama masa pendudukan Jepang.
Pada tahun 1943 Hatta diangkat menjadi salah seorang pimpinan Putera. Pada bulan Mei 1945, ia menjadi pimpinan BPUPKI. Pada 7 Agustus 1945 ia diangkat sebagai Wakil Ketua PPKI. Pada dinihari tanggal 16 Agustus 1945 ia bersama Sukarno dibawa oleh para pemuda ke Rengasdengklok. Pada dinihari tanggal 17 Agustus 1945 ia bersama Sukarno menyusun teks Proklamasi dan menandatanganinya. Pada pukul 10.00 pada hari yang sama ia mendampingi Sukarno membacakan teks proklamasi. Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 secara aklamasi memilih Sukarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Nampaknya sejak saat itulah muncul istilah Dwitunggal. Pada 1 Desember 1956 Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden.
Mohammad Hatta meninggal di Jakarta tanggal 14 Maret 1980 dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, meninggalkan seorang istri (Rahmi Hatta) dan tiga orang anak. Pemerintah menganugrahinya gelar Pahlawan Proklamator.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan