PNI
Setamat ELS pada usia 15 tahun Sukarno diterima di HBS (Hogere Burger School) di Surabaya atas bantuan Tjokroaminoto. Ia pun mondok sambil berguru pada Ketua Sarekat Islam itu. Di tempat itu mondok pula Agus Salim, Muso, Alimin, Kartosuwiryo dan Darsono. Bahkan Tan Malaka pernah mondok di rumah ini. Mereka pun sering bertukarpikiran satu sama lain. Di kota ini pula pada usia 16 tahun ia menjadi anggota Tri Koro Darmo (Tiga Tujuan Suci) yang kelak bernama Jong Java dan pada tahun 1918 mulai menulis untuk surat kabar Oetoesan Hindia, milik SI. Dari berbagai muridnya Tjokroaminoto paling suka dengan Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno. Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga membuat kawannya, Muso, Alimin, Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya terbangun dan tertawa menyaksikannya.
Setelah menamatkan studinya di HBS, pada Juni 1921 ia melanjutkan studinya di THS (Tenische Hogere School) di Bandung. Atas bantuan Tjokroaminoto pula ia mondok di rumah Haji Sanusi. Di kota ini ia bergabung dalam Algemene Studieclub yang dididirikan di Bandung pada 29 November atas inisiatif bekas anggota Perhimpunan Indonesia, tokoh nasionalis kota Bandung dan para mahasiswa THS. Organisasi ini diilhami oleh Study Club yang didirikan dr Sutomo di Surabaya pada tahun 1924. Ia pun menjadi singa podium dan dipercaya memimpin majalah bulanan Indonesia Moeda. Di majalah ini Sukarno menulis Nasionalisme-Is lamisme-Marxism e dan melihat kesamaannya dalam menentang kapitalisme imperialisme dan kolonialisme.
Di kota Bandung, Sukarno bertemu dengan Douwes Dekker, Tjiptomangunkus umo dan Ki Hadjar Dewantara. Mereka adalah pemimpin Indische Partij yang radikal yang lebih banyak menggunakan kerangka berpikir nasionalisme daripada kerangka Islamisme, Marxisme maupun kesukuan yang sempit.
Sukarno sempat cuti dari kuliahnya karena mertuanya, Tjokroaminoto, sakit. Ia pun harus bekerja di jawatan kereta api untuk membiayai keluarga. Pada saat itu ia pun menceraikan istrinya, Oetari, dan menyerahkannya kepada Tjokroaminoto. Tidak lama kemudian ia menikah dengan Inggit Garnasih, induk semangnya. Setelah menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1926 ia terjun sepenuhnya ke politik dan mendapat dukungan sepenuhnya dari Inggit.
Sukarno sempat menjalankan profesinya sebagai insinyur dan turut merancang beberapa bangunan di Bandung seperti Hotel Preanger dan sebuah sekolah serta rumah di Jl. Gatot Subroto. Namun panggilan politik lebih kuat dan iapun mendirikan partai bernama PNI (Partai Nasional Indonesia) pada tanggal 4 Juli 1927. Tujuan PNI adalah kemerdekaan bagi kepulauan Indonesia yang akan dicapai dengan cara nonkooperatif dan dengan organisasi massa. Inilah partai politik pertama yang beranggotakan etnis Indonesia, semata-mata mencita-citakan kemerdekaan politik, berpabdangan kewilayahan yang meliputi batas-batas Indonesia sebagaimana ditentukan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan berideologi nasionalisme sekuler. Pada bulan Mei 1929, PNI telah mempunyai cabang di kota-kota besar di Jawa dan satu cabang di Palembang. Anggotanya mencapai 3.860 orang terutama di Bandung Batavia dan Surabaya. Pada akhir tahun 1929 jumlah anggota partai ini mencapai 10.000 orang (Ricklefs, 2003:378).
Setelah menamatkan studinya di HBS, pada Juni 1921 ia melanjutkan studinya di THS (Tenische Hogere School) di Bandung. Atas bantuan Tjokroaminoto pula ia mondok di rumah Haji Sanusi. Di kota ini ia bergabung dalam Algemene Studieclub yang dididirikan di Bandung pada 29 November atas inisiatif bekas anggota Perhimpunan Indonesia, tokoh nasionalis kota Bandung dan para mahasiswa THS. Organisasi ini diilhami oleh Study Club yang didirikan dr Sutomo di Surabaya pada tahun 1924. Ia pun menjadi singa podium dan dipercaya memimpin majalah bulanan Indonesia Moeda. Di majalah ini Sukarno menulis Nasionalisme-Is
Di kota Bandung, Sukarno bertemu dengan Douwes Dekker, Tjiptomangunkus
Sukarno sempat cuti dari kuliahnya karena mertuanya, Tjokroaminoto, sakit. Ia pun harus bekerja di jawatan kereta api untuk membiayai keluarga. Pada saat itu ia pun menceraikan istrinya, Oetari, dan menyerahkannya kepada Tjokroaminoto. Tidak lama kemudian ia menikah dengan Inggit Garnasih, induk semangnya. Setelah menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1926 ia terjun sepenuhnya ke politik dan mendapat dukungan sepenuhnya dari Inggit.
Sukarno sempat menjalankan profesinya sebagai insinyur dan turut merancang beberapa bangunan di Bandung seperti Hotel Preanger dan sebuah sekolah serta rumah di Jl. Gatot Subroto. Namun panggilan politik lebih kuat dan iapun mendirikan partai bernama PNI (Partai Nasional Indonesia) pada tanggal 4 Juli 1927. Tujuan PNI adalah kemerdekaan bagi kepulauan Indonesia yang akan dicapai dengan cara nonkooperatif dan dengan organisasi massa. Inilah partai politik pertama yang beranggotakan etnis Indonesia, semata-mata mencita-citakan
Marhaenisme.
Suatu ketika Sukarno mendayung sepedanya di pesawahan Bandung Selatan dan bertemu seorang petani bernama Marhaen. Nama itu kemudian digunakannya sebagai nama paham hasil penggaliannya, Marhaenisme.
Pada tahun 1930 pemerintah kolonial menyeret Sukarno dan rekan-rekannya ke pengadilan Kabupaten Bandung. Pengadilan menuntut Sukarno dengan hukuman 4 tahun, Gatot dengan hukuman 2 tahun, Maskun dengan hukuman 20 bulan dan Supriadinata dengan hukuman 15 bulan. Sukarno mengajukan pembelaan yang kemudian dibukukan menjadi Indonesia Menggugat. Buku ini menarik perhatian dunia internasional.
Sukarno menjalani hukuman di Banceuy dan kemudian Sukamiskin. Sementara itu PNI dibekukan oleh Sartono, tokoh PNI yang tidak ikut ditangkap. Sementara Mohammad Hatta dan Sjahrir membentuk PNI-Baru. Saat keluar dari penjara Sukarno mencoba menyatukan keduanya namun tidak berhasil. Ia pun bergabung dengan Partindo yang dipimpin Sartono. Pada kongres Partindo yang pertama ia terpilih menjadi Ketua, membuka cabang di berbagai kota dan menerbitkan majalah Fikiran Ra'jat. Pada saat inilah ia menulis risalah Mencapai Indonesia Merdeka (1933). Pemerintah Belanda di bawah gubernur jendral De Jonge menangkapnya. Tanpa proses pengadilan Sukarno dibuang ke Ende, Flores.
Pada tahun 1930 pemerintah kolonial menyeret Sukarno dan rekan-rekannya ke pengadilan Kabupaten Bandung. Pengadilan menuntut Sukarno dengan hukuman 4 tahun, Gatot dengan hukuman 2 tahun, Maskun dengan hukuman 20 bulan dan Supriadinata dengan hukuman 15 bulan. Sukarno mengajukan pembelaan yang kemudian dibukukan menjadi Indonesia Menggugat. Buku ini menarik perhatian dunia internasional.
Sukarno menjalani hukuman di Banceuy dan kemudian Sukamiskin. Sementara itu PNI dibekukan oleh Sartono, tokoh PNI yang tidak ikut ditangkap. Sementara Mohammad Hatta dan Sjahrir membentuk PNI-Baru. Saat keluar dari penjara Sukarno mencoba menyatukan keduanya namun tidak berhasil. Ia pun bergabung dengan Partindo yang dipimpin Sartono. Pada kongres Partindo yang pertama ia terpilih menjadi Ketua, membuka cabang di berbagai kota dan menerbitkan majalah Fikiran Ra'jat. Pada saat inilah ia menulis risalah Mencapai Indonesia Merdeka (1933). Pemerintah Belanda di bawah gubernur jendral De Jonge menangkapnya. Tanpa proses pengadilan Sukarno dibuang ke Ende, Flores.
Komentar
Posting Komentar