Seni Rupa Modern Insonesia


Pada tahun 1920-1930 muncul bentuk modern lukisan Bali. Pada tahun 1920-an pelukis Jerman Walter Spies dan seniman Belanda Rudolf Bonnet tinggal di Bali dan terjadilah proses saling mempengaruhi antara kesenian Bali dan kesenian Eropa. Seniman Miguel Covartubias dari Mexico juga berperan dalam pertukaran budaya yang saling menguntungkan (Ricklefs, 2003: 382-384).
Para seniman asing berdatangan karena citra Bali yang luar biasa yang disebarkan di Barat oleh publikasi saat itu. Beberapa di antara mereka tinggal di Ubud, khususnya Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Cokorda Gede Raska Sukawati dari Istana Sukawati memanfaatkan para seniman tersebut untuk keuntungan rakyatnya dan pengimbang Belanda. Ia menyambut mereka dan meminjamkan tanahnya agar mereka bisa menetap.
Spies dan Bonnet memesan lukisan, memberi peralatan lukis dan membimbing para pelukis Bali dengan teknik-teknik baru. Spies dan Bonney juga bertindak sebagai pedagang seni, yang segera diikuti oleh Covarrubias, Gregory Bateson dan Margareth Mead.
Untuk mencegah dampak komersialisme, pada tanggal 29 Januari 1936, Cokorda Gede Agung Sukawati bersama dengan Walter Spies dan Rudolf Bonnet mendirikan perkumpulan Pita Maha dan beranggotakan lebih dari 150 orang. Pita Maha bertujuan memberikan cita rasa setempat dan membuka pasaran untuk lukisan dan ukiran kayu Bali. Pita Maha berhasil menyelenggarakan pameran-pameran penting di Hindia Timur, Jepang dan Eropa. Delacroix dab Gauguin menyadarkan masyarakat mengenai kekayaan seni rupa Timur dan pulau-pulau eksotik, sehingga seni Bali disambut dengan baik.
Bagaimanapun Pita Maha mengenalkan gagasan baru tentang bentuk tema dan teknik. Para seniman membebaskan diri dari kode tradisi, menggambarkan kenyataan secara lebih nyata, seperti pengenalan gagasan anatomi dan perspektif , rincian obyek yang kecil serta bayangan chiaroscuro.
(Michel Picard, Indonesian Heritage Vol. 7 Seni Rupa, 2002:114).
Di luar Bali, munculnya seni gaya Barat di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari nama Raden Saleh yang sejak tahun 1829 pergi ke Belanda dan menjadi pelukis pribumi pertama yang mempelajari seni di luar negeri. Ia merupakan seniman Indonesia utama dan pertama yang berhasil menguasai gaya romantis yang lazim di Barat pada abad ke-19.
Setelah Raden Saleh meninggal, perkembangan seni rupa mengalami kemandegan. Baru pada tahun 1930-an muncul teknik yang sama dengan gaya naturalisme Raden Saleh seperti Pirngadi, Abdullah Suryosubroto (ayah dan guru Basuki Abdullah) dan Wakidi. Kelompok ini oleh Sudjojono disebut dengan istilah Mooi Indiƫ (Hindia Molek) sebagai kritik terhadap jenis karya yang dihasilkan dan tema-tema yang digunakan selama masa penjajahan Belanda. Angkatan peryama Mooi Indie yang belajar pada guru-guru Belanda menunjukkan kecenderungan akademis pada seni mereka. Para pejuang mencap mereka berpihak pada penguasa jajahan sehingga dengan demikian memperlihatkan "mental Belanda".
Tidak seperti seniman Indonesia yang berkarya terpisah dengan yang lain, orang Eropa memiliki perkumpulan seni Kunstkring di Jakarta tempat mereka mengadakan pameran. Enam seniman Eropa di Indonesia selama tahun 1930-an adalah Willem Gerard Hofker, Roland Strasser, Ernest Dezentje, Romulus Locatelli, Theo Meier dan Carel Lodewijk Dake Jr. (Kusnadi, 2002:46).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan