Penetrasi Jepang

Pada tahun 1923-1930, Jepang mengisi 10% dari nilai total impor Indonesia. Sementara Belanda masih terpaku pada standar emas hingga September 1936, Jepang mendevaluasi yen pada tahun 1931 dan selanjutnya dengan cepat menggantikan posisi Belanda dalam impor Indonesia. Ketersediaan barang-barang murah dari Jepang penting untuk mengurangi dampak depresi bagi bangsa Indonesia.
Pada tahunn 1934, tahun puncak kesuksesan Jepang dalam hal ini, impor dari Jepang mewakili 32,5% dari nilai total impor Indonesia, hampir dua setengah kali lipat dari nilai impor dari Belanda yang masuk ke negara koloni ini.
Pada tahun 1934, negosiasi dengan Jepang untuk membatasi penetrasi ekspornya gagal. Akibatnya Batavia memberlakukan sistem lisensi dan kuota yang berdampak pada pembatasan impor dari Jepang saja.
Pada tahun 1936, Batavia dan Tokyo sudah mencapai kesepahaman informal tentang masalah perdagangan. Impor dari Jepang pun turun menjadi 25,4% dari total impor Indonesia pada tahun 1937 dan akhirnya kalah dibandingkan dengan impor dari Belanda pada tahun 1938, ketika impor dari Belanda mencapai 23% dan impor dari Jepang hanya 14,4% dari total impor Indonesia.
Jepang didorong keluar dari pasar yang sebelumnya telah mereka masuki. Bangsa Indonesia mendapatkan barang-barang dari Belanda yang lebih mahal sebagai pengganti barang-barang Jepang yang murah. Jaringan ritil Jepang sebelumnya telah menggunakan para pekerja Indonesia, tetapi kini mereka kehilangan pekerjaan, karena importir Eropa kembali mempekerjakan para pekerja Cina mereka yang sudah biasa (Ricklefs, 2003: 386-387).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan