Perhimpunan Indonesia

Pada tahun 1908 di negeri Belanda berdiri Indische Vereeniging (Persatuan Hindia), organisasi para mahasiswa Indonesia di Belanda. Seusai PD I tahun 1918 Indische Vereeniging terbagi dua. Kelompok moderat dipimpin oleh penyair Noto Suroto, yang kemudian mendirikan Nederlands-Indonesische-Verbond. Kelompok yang kedua bersifat progresif, mempunyai tujuan ke arah Indonesia Merdeka.
Pada tahun 1922 Indische Vereeniging namanya berubah menjadi Indonesische Vereeniging dan pada tahun 1925 menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) dan makin terlibat dalam masalah-masalah politik. Asasnya adalah "mengusahakan suatu pemerintahan untuk Indonesia yang bertanggungjawab hanya kepada rakyat Indonesia, dan hal ini hanya dapat dicapai oleh bangsa Indonesia, tidak pertolongan siapapun." Untuk mempercepat tercapainya tujuan ini, segala jenis perpecahan harus dihindarkan.
Sejak tahun 1923 PI keluar dari Indonesisch Verbond van Studerenden, suatu gabungan organisasi mahasiswa Indonesia, Belanda, Indo Belanda dan peranakan Cina yang berorientasi ke Indonesia. PI menerbitkan buku yang menggemparkan kolonialis Belanda berjudul Gedenkboek 1908-1923 Indonesische Vereniging. Majalah bulanan Hindia Putra yang diterbitkan sejak tahun 1916 kemudian diubah menjadi Indonesia Merdeka.
Pemimpin-pemimpin PKI yang diasingkan seperti Tan Malaka dan Semaun, berpidato dalam rapat-rapatnya dan organisasi itu menjadi radikal. Pemimpin utamanya antara lain Ahmad Subarjo (1919) dan Mohammad Hatta (1921), di samping Sjahrir, Ali Sastroamidjojo dan Sukiman Wirjosandjojo. Mereka ini adalah pemimpin-pemimpin Indonesia paling terpelajar. Mereka menuntut ilmu di universitas-universitas Belanda. Hatta merupakan tokoh dominan di antara mereka. Pada umumnya mereka berideologi sosialis yang Marxistis dalam menafsirkan imperialisme.
PI menjadi non-koperatif dengan meninggalkan kerjasama dengan kaum penjajah. PI berusaha agar masalah Indonesia mendapatkan perhatian dunia. Mereka membina hubungan dengan beberapa organisasi internasional seperti Komintern, Liga Penentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial yang dibentuk di Jerman, dan mengikuti kongres-kongres internasional yang bersifat humanis. Dalam kongres ke-6 Liga Demokrasi Internasional di Paris pada bulan Agustus 1926, Hatta dengan tegas menyatakan tuntutan untuk kemerdekaan Indonesia. Kejadian ini menyebabkan pemerintah Belanda mencurigai Perhimpunan Indonesia. Kecurigaan ini bertambah ketika Hatta atas nama PI menandatangani suatu perjanjian rahasia dengan Semaun pada bulan Desember 1926 yang isinya menyatakan bahwa PKI mengakui kepemimpinan PI dan bersedia bekerjasama menghidupkan perjuangan kebangsaan rakyat Indonesia di bawah kepemimpinan PI.
Pada Kongres ke-1 Liga Penentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial di Brussels pada bulan Februari 1927, PI atas nama PPPKI mengirim Mohammad Hatta, Nazir Pamoncak, Gatot dan Ahmad Subarjo. Kongres mengambil keputusan antara lain : (1) menyatakan simpati sebesar-besarnya kepada pergerakan kemerdekaan Indonesia dan akan menyokong usaha tersebut dengan segala daya; (2) menuntut dengan keras kepada pemerintah Belanda agar memberikan kebebasan bekerja untuk pergerakan rakyat Indonesia dan menghapus hukuman pembuangan dan hukuman mati.
Dalam kongres kedua di Brussels tahun 1927, PI juga ikut. Akan tetapi setelah liga didominasi oleh golongan komunis, PI segera keluar dari Liga
(Masyhuri, 2004: 125-126).
Propaganda PI semakin lama semakin keras. Pada bulan Juli 1927, dilancarkan penggeledahan di rumah pengurus PI. Pada bulan September 1927, Mohammad Hatta, Ali Sastroamijoyo, Abdulmajid Djojoadiningrat dan Nazir Pamoncak ditangkap dengan tuduhan menganjurkan dilakukannya perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Belanda di Indonesia. Setelah disekap di penjara selama lebih dari lima bulan, pada bulan Maret 1928 mereka diadili di Den Haag dan dibebaskan. Keputusan ini mempermalukan penguasa. Hatta memanfaatkan pidato pembelaannya untuk melontarkan kecaman terhadap kekuasaan Belanda dan menyampaikan pembenaran atas nasionalisme Indonesia.
Pada tahun 1931 Perhimpunan Indonesia retak ketika kaum komunis pro Moskow berkuasa. Sjahrir dan Hatta dikeluarkan (Ricklefs, 2003:380).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan