Exorbitante Rechten (Hak Eksorbitan)


Meskipun ada pembatasan ruang gerak Partindo, terkadang Partindo tidak mengindahkannya. Partindo terus mengadakan rapat-rapat umum. Pemerintah kolonial juga memperingatkan Sukarno agar mengurangi kegiatan propaganda menentang pemerintah. Peringatan itu tidak dipedulikan Sukarno. Bahkan beberapa tokoh Partindo melalui majalah Pikiran Rakjat dan Soeloeh Indonesia Moeda melancarkan kritik pedas tentang situasi ekonomi, sosial, dan mengejek tindakan-tindakan imperialisme Belanda. Berbagai tulisan dan karikatur itu menghabiskan kesabaran pemerintah kolonial.
PENANGKAPAN SUKARNO
Kali ini pemerintah kolonial di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal de Jonge tidak menuntut Sukarno ke pengadilan, melainkan menjalankan hak khusus gubernur jenderal, exorbitante rechten (hak eksorbitan). Hak eksorbitan itu dipunyai gubernur jenderal untuk mencabut izin penerbitan pers tanpa proses pebgadilan, tapi belakangan digunakan juga untuk menangkap dan membuang setiap aktivis gerakan yang dianggap membahayakan ketentraman negara. Pada 1 Agustus 1933 Sukarno ditangkap untuk kemudian dibuang ke Ende (Flores).
Penangkapan Sukarno dan larangan mengadakan rapat yang ditimpakan pada Partindo membuat partai revolusioner ini hidup merana.
Para pemimpin PNI-Baru menyesalkan penangkapan Sukarno, dan mulai tampil berhati-hati. Tetapi gubernur jendral de Jonge mengambil keputusan untuk memurnikan gerakan kaum nasionalis dan hanya mengakui gerakan pribumi yang dipimpin oleh para bupati.
PENANGKAPAN HATTA DAN SJAHRIR
Pada bulan Desember 1933, Jaksa Agung menyarankan agar Gubernur Jenderal meneruskan pemurnian gerakan kaum nasionalis dengan menahan Hatta, Sjahrir dan pengurus pusat PNI Baru.
Dewan Hindia Belanda ternyata mendukung usul Jaksa Agung, seperti halnya Sekretaris Jenderal De Kat Angelino. Pada tanggal 24 Februari 1934, Hatta, Sjahrir, Maskun, Burhanuddin, Suka Bondan dan Marwoto ditahan kemudian dibuang ke Boven Digul. Dengan penahanan tokoh-tokoh PNI Baru ini praktis kegiatan PNI Baru menjadi lumpuh sama sekali dan akhirnya berakhir.
PEMBUBARAN PARTINDO
Pada pertengahan November 1936, atas inisiatif Sartono yang menggantikan Sukarno, pengurus Partindo mengumumkan keputusan membubarkan diri. Golongan yang tidak setuju mendirikan Komite Pertahanan Partindo di Semarang dan Yogyakarta untuk menghambat pembubaran tersebut, namun tidak berhasil.
Akhirnya pada tahun 1937, Partindo benar-benar dibubarkan. Banyak anggotanya memasuki partai baru, Gerindo ( Gerakan Rakyat Indonesia) yang berasas kooperasi. (Purwoko, 2004 : 199-200 dan Sudiyono, 2004: 369-370).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan