ZEVEN PROVINCIËN


Suatu pemberontakan meletus di atas kapal angkatan laut Zeven Provinciën milik Belanda pada tanggal 5 Februari 1933 ketika kapal tersebut berada di lepas pantai Sumatra. Penyebabnya adalah penurunan gaji semua pegawai pemerintah sebanyak 17% yang diumumkan pada tanggal 1 Januari 1933.
Penurunan itu merupakan bagian usaha pemerintah untuk memperkecil jurang antara pendapatan dan pengeluaran ketika depresi ekonomi menyebabkan pendapatan pemerintah menurun secara drastis. Kebijaksanaan ini tidak dapat diterima oleh pegawai pemerintah, baik yang berkebangsaan Eropa, Indonesia maupun Eurasia. Pemberontakan itu dapat diatasi dengan pemboman melalui pesawat udara angkatan laut Belanda. Insiden itu mengakibatkan terkejutnya lapisan tertinggi pemerintah Belanda.
Dua hari setelah kerusuhan itu, suatu pawai kesetiaan dilangsungkan di depan istana gubernur jenderal di Jakarta. Pada kesempatan itu Gubernur Jenderal de Jonge mengucapkan pidato mengenai pelajaran yang bisa diambil dari kerusuhan tersebut. De Jonge merasa risau atas arah peristiwa di Hindia Belanda, yang nampaknya semakin tidak dapat dikendalikan. De Jonge juga mendapat serangan dari orang-orang Eropa karena menurunkan gaji.
Dalam keadaan terdesak de Jonge segera mengambil tindakan terhadap nasionalis radikal. Meskipun tidak ada bukti-bukti bahwa PNI-Baru maupun Partindo terlibat dalam pemberontakan tersebut, de Jonge beranggapan bahwa sebagian kaum nasionalis turut bertanggungjawab atas pemberontakan tersebut.
Peristiwa Zeven Provinciën itu menyebabkan pemerintah Belanda lebih ketat lagi mengawasi kegiatan-kegiatan kaum nasionalis. Campur tangan pemerintah terhadap partai politik, khususnya partai-partai non koperasi, semakin berat. Belanda memerintahkan para kepala pemerintahan di daerah untuk lebih teliti lagi menyelidiki rapat-rapat politik kaum nasionalis dan melarang agitasi ekstrim.
Rapat demi rapat ditutup dan pada beberapa pertemuan para pembicara diperintahkan untuk tidak meneruskan pidatonya hingga selesai. Bahkan slogan-slogan yang tidak berbahaya, seperti non-kooperasi, menolong diri sendiri, dan Indonesia merdeka, secara paksa harus dibuang dari dinding-dinding gedung pertemuan. Para pembicara dilarang membahas masalah-masalah depresi, imperialisme, atau ide-ide politik kaum nasionalis, kecuali kalau hal-hal itu dibicarakan dalam istilah-istilah umum.
PSII kemudian juga diperhatikan. Pada bulan Februari-Maret, sejumlah besar surat kabar mulai dati Persatoean Indonesia milik Partindo hingga Soeara Kalimantan, disensor, dan pemimpin redaksinya ditangkap (Sudiyono, ENI, 2004 :   ).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan