Persaingan Partindo vs PNI-Baru
Tokoh-tokoh PNI-Baru, seperti Hatta dan Sjahrir, terkadang terlibat polemik dengan Sukarno dalam membahas suatu masalah. Mereka terkadang mengejek para pemimpin Partindo, seperti Sartono dan Sujudi yang dinilainya sebagai kaum borjuis nasionalis yang menentang kapitalisme Barat tetapi mendukung kapitalisme Indonesia. Kritik yang tajam mereka lancarkan terhadap gerakan swadesi Partindo.
Pada bulan April 1932, Hatta melalui tulisan yang dimuat dalam Daulat Rakyat, menyerang tajam sikap Sukarno yang terlalu dibebani oleh keinginan akan persatuan. Ia menolak anggapan bahwa golongan merdeka (PNI-Baru) telah membingungkan rakyat. Ia mengatakan rakyat justru bingung oleh gerakan nasionalis yang tidak lagi mempunyai dasar-dasar yang jelas karena terbius oleh slogan persatuan.
Massa yang masih tradisionalis tidak tertarik dengan perdebatan tersebut. Mereka lebih memilih Partindo mengingat partai ini dipimpin oleh orang yang masih punya karisma, yakni Sukarno.
Pada saat itu Hindia Belanda mengalami malaise (depresi ekonomi). Agar krisis tersebut tidak dimanfaatkan oleh pergerakan nasional untuk melancarkan agitasi politik, pemerintah Belanda mengirim De Jonge yang terkenal keras sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda. Pemerintah kemudian melarang rapat-rapat Partindo dan melarang orang Partindo jalan bersama lebih dari dua atau tiga orang. Mereka pun dilarang pergi ke luar kota untuk mengadakan propaganda. Dalam setiap rapat partai pemerintah mengutus intelnya (PID) untuk hadir. PID diberi kewenangan untuk bertindak keras. Pemerintah juga membatasi kebebasan pers bagi Partindo. Ini pun berlaku bagi PNI-Baru (Ingleson, Margono, Noer, Pringgodigdo, Purwoko, 2004: 199).
Pada bulan April 1932, Hatta melalui tulisan yang dimuat dalam Daulat Rakyat, menyerang tajam sikap Sukarno yang terlalu dibebani oleh keinginan akan persatuan. Ia menolak anggapan bahwa golongan merdeka (PNI-Baru) telah membingungkan rakyat. Ia mengatakan rakyat justru bingung oleh gerakan nasionalis yang tidak lagi mempunyai dasar-dasar yang jelas karena terbius oleh slogan persatuan.
Massa yang masih tradisionalis tidak tertarik dengan perdebatan tersebut. Mereka lebih memilih Partindo mengingat partai ini dipimpin oleh orang yang masih punya karisma, yakni Sukarno.
Pada saat itu Hindia Belanda mengalami malaise (depresi ekonomi). Agar krisis tersebut tidak dimanfaatkan oleh pergerakan nasional untuk melancarkan agitasi politik, pemerintah Belanda mengirim De Jonge yang terkenal keras sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda. Pemerintah kemudian melarang rapat-rapat Partindo dan melarang orang Partindo jalan bersama lebih dari dua atau tiga orang. Mereka pun dilarang pergi ke luar kota untuk mengadakan propaganda. Dalam setiap rapat partai pemerintah mengutus intelnya (PID) untuk hadir. PID diberi kewenangan untuk bertindak keras. Pemerintah juga membatasi kebebasan pers bagi Partindo. Ini pun berlaku bagi PNI-Baru (Ingleson, Margono, Noer, Pringgodigdo, Purwoko, 2004: 199).
Komentar
Posting Komentar