Permi (Persatuan Muslimin Indonesia)

Reaksi pimpinan Islam terhadap perkembangan nasionalisme sekuler tersebut pada umumnya bersifat memusuhi. Para pemimpin Islam modernis mencela nasionalisme. Mereka pada dasarnya tidak dapat memahami bagaimana di sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sesuatu selain Islam dapat secara serius diajukan sebagai dasar persatuan. Hanya di Minangkabaulah ada usaha yang serius untuk mempersatukan Islam dan nasionalisme.
Mahasiswa-mahasiswa Minangkabau yang berada di Kairo mulai menyangsikan manfaat ide-ide Pan Islamisme. Keraguan ini diperkuat dengan gagalnya konferensi-konferensi kekhalifahan yang diselenggarakan di Kairo (Mei 1926) dan Mekah (Juni 1926). Iljas Yakub dan Muchtar Luthfi pulang ke Minangkabau masing masing pada tahun 1929 dan 1931. Mereka mengambil alih pimpinan atas Permi (Persatuan Muslimin Indonesia) yang didirikan bulan Mei 1930 dengan slogan "Islam dan Kebangsaan." (Ricklefs, 2003: 392).
***
Permi adalah partai politik yang berdiri tahun 1930 di Sumatra Barat, sebagai kelanjutan dari organisasi Thawalib, yang anggotanya terdiri dari atas semua pelajar dan guru Sekolah Thawalib di Sumatra Barat. Pada tahun 1932 Permi berkembang menjadi partai politik, setelah dua orang muda, Iljas Yakub dan Muchtar Luthfi, bergabung dengan organisasi ini. Kedua orang itu pernah belajar di Mesir beberapa tahun.
Iljas Yakub dan Muchtar Luthfi termasuk tokoh penting dalam perhimpunan pelajar Asia Tenggara di Kairo bernama Al-Jam'iyah Al-Khairiyah, dan menjadi pengasuh majalah yang diterbitkannya, Seruan Azhar. Ketika menjadi guru di Sekolah Thawalib Padang Panjang, mereka aktif memberikan bimbingan politik kepada para pelajar. Gemblengan politik itu mempengaruhi sikap para pelajar, sehingga cita-cita pembaharuan agama dan semangat politik kemerdekaan menyatu dalam diri pelajar dan guru sekolah itu.
Selain mendirikan sekolah Thawalib di beberapa tempat di Sumatra Barat, Permi mendirikan Islamic College di Padang, sekolah menengah yang memasukkan pelajaran umum. Permi juga mendirikan kepanduan bernama Al Hilal.
Kaum ninik mamak dan pemerintah kolonial mencurigai sepak terjang Permi. Pada tahun 1933 propagandis wanita Permi ditangkap. Fatimah Hatta dan Ratna Sari ditahan. Rasuna Said dan Rasimah Ismail dipenjarakan sembilan bulan di Semarang. Delapan guru Thawalib dilarang mengajar. Iljas Yakub, Muchtar Luthfi dan Jalaluddin Thaib dibuang ke Digul. Jumlah aktivis Permi yang ditangkap berjumlah 55 orang, 10 orang diantaranya perempuan.
Ratna Sari dipilih menjadi ketua Permi dengan harapan pemerintah kolonial memberi kelonggaran. Harapan itu tidak menjadi kenyataan. Partai ini menjadi lumpuh karena pengawasan yang ketat, larangan rapat dan penangkapan. Pada tahun 1936 Permi secara resmi membubarkan diri (Hisyam, 2004: 132-134).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan