Rangkayo Rasuna Said (1920-1965)
Kaum ninik mamak dan pemerintah kolonial mencurigai sepak terjang Permi. Pada tahun 1933 propagandis wanita Permi ditangkap. Fatimah Hatta dan Ratna Sari ditahan. Rasuna Said dan Rasimah Ismail dipenjarakan sembilan bulan di Semarang. Delapan guru Thawalib dilarang mengajar. Iljas Yakub, Muchtar Luthfi dan Jalaluddin Thaib dibuang ke Digul. Jumlah aktivis Permi yang ditangkap berjumlah 55 orang, 10 orang diantaranya perempuan (Hisyam, 2004: ).
Maaf karena biografi tokoh tokoh Permi yang lain tidak saya dapatkan, hanya Rangkayo Rasuna Said inilah yang saya sampaikan pada para pembaca. Lema ini saya dapatkan pada ENI Vol. 14 hal 103.
Rangkayo dilahirkan di Maninjau. Setelah menyelesaikan sekolah desa di Maninjau, Rasuna Said melanjutkan ke Diniyah School, Padang. Di samping itu, ia belajar di sekolah rumah tangga anak-anak perempuan dan di sekolah Thawalib.
Pada masa pergerakan kemerdekaan, Rangkayo bergabung dengan Sarekat Rakyat dan menjabat sekretaris cabang organisasi itu, kemudian ia memasuki Permi (Persatuan Muslim Indonesia) cikal bakal Parmusi. Karena sering mengritik pemerintah Belanda dalam pidato-pidatony
Pengabdian dalam bidang pendidikan diwujudkannya dengan mendirikan Sekolah Thawalib di Padang dan memimpin Sekolah Kursus Putri.
Pada zaman pendudukan Jepang, Rangkayo turut mendirikan Pemuda Nippon Raya di Padang. Lewat organisasi itu, ia membangkitkan kesadaran para pemuda melawan tentara Jepang guna merebut kemerdekaan. Akibatnya, organisasi itu dibubarkan.
Setelah proklamasi kemerdekaan, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatra mewakili Sumatra Barat. Kemudian menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), BP KNIP (Badan Pekerja KNIP), DPR RIS (Dewan Perwakilan Rakyat - Republik Indonesia Serikat) dan DPRS (DPR Sementara). Ia juga diangkat sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) pada tahun 1959.
Rangkayo Rasuna Said meninggal dunia di Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan SK Presiden No. 084/TK/Tahun 1974
(Widiatmoko, 2004: 103-104).
Komentar
Posting Komentar