Reaksi Terhadap Nasionalisme Sekuler

Perpecahan dalam nasionalisme sekuler dilambangkan oleh perbedaan pemimpin mereka : di satu pihak muslim abangan Jawa yang romantis dengan naluri-naluri kerakyatan, di pihak lain seorang Minangkabau elite dan sangat intelektual, seorang muslim yang saleh namun tak kurang teguhnya memegang doktrin-doktrin politik sosialis yang bersifat sekuler.
Reaksi pimpinan Islam terhadap perkembangan nasionalisme sekuler tersebut pada umumnya bersifat memusuhi. Orang Minangkabau lainnya, Mohammad Natsir, tampil pada kurun ini sebagai seorang ahli polemik Islam yang terkemuka.
Para pemimpin Islam modernis mencela nasionalisme karena paham ini merupakan ide manusia padahal Islam merupakan wahyu dari Tuhan. Paham nasionalisme memecah-belah umat Islam sedunia. Paham ini pun berasal dari Eropa serta menimbulkan perang dan imperialisme bagi Barat.
Mereka pada dasarnya tidak dapat memahami bagaimana di sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sesuatu selain Islam dapat secara serius diajukan sebagai dasar persatuan.
Adanya fakta bahwa para pemimpin Islam modernislah yang paling menentang nasionalisme sekuler, dan khususnya Persatuan Islam yang ekstrem yang menempati posisi ini, hanyalah cenderung mempertebal perasaan curiga di kalangan pihak-pihak yang tidak menyetujui ide-ide Islam modernis, bahwa Islam adalah suatu kekuatan politik yang berbahaya dan bersifat memecah-belah. Hal ini selanjutnya mengakibatkan terkucilnya Islam dalam bidang politik. Di sisi lain hal ini juga menyebabkan terkucilnya elite nasionalis dari rakyat, karena pada waktu itu baru Islamlah yang dapat memberikan pertalian-pertalian keorganisasian yang potensial antara pemimpin-pemimpin yang berpendidikan di kota-kota dengan masyarakat pedesaan.
Hanya di Minangkabaulah ada usaha yang serius untuk mempersatukan Islam dan nasionalisme. Mahasiswa-mahasiswa Minangkabau yang berada di Kairo mulai menyangsikan manfaat ide-ide Pan Islamisme. Keraguan inu diperkuat dengan gagalnya konferensi-konferensi kekhalifahan yang diselenggarakan di Kairo (Mei 1926) dan Mekah (Juni 1926).
Iljas Jacub dan Muchtar Luthfi pulang ke Minangkabau masing masing pada tahun 1929 dan 1931. Mereka mengambil alih pimpinan atas Permi (Persatuan Muslimin Indonesia) yang didirikan bulan Mei 1930 dengan slogan "Islam dan Kebangsaan." Perpaduan ini membuat banyak pemuda Minangkabau sangat tertarik, termasuk kaum Islam tradisional. Pada bulan Agustus 1933, Permi mempunyai 10.000 anggota, 40% di antaranya wanita. Akan tetapi Permi juga memancing banyak oposisi.
Pada tahun 1932, semua aliran politik yang penting terwakili di Minangkabau. Permi menjalin hubungan dengan Partindo dan PNI-Baru telah diperkenalkan ke wilayah tersebut.
Sementara itu PSII masih cenderung mendukung Pan-Islam dan pengaruh politiknya terus berkurang. Meskipun begitu PSII berusaha mengokohkan posisinya sebagai suatu gerakan yang radikal dan secara sengit mengecam doktrin-doktrin nasionalis partai partai lain (Ricklefs, 2005:391-392).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan